Pengelolaan Wakaf Terus Bertransformasi

Editor: Syarkawi author photo
Oleh : Prof Amelia Fauzia



Banda Aceh — Pengelolaan wakaf di Indonesia sejak masa lampau hingga kontemporer terus beradaptasi dan bertransformasi. Hal ini didorong oleh perkembangan kebutuhan masyarakat dan ujung tombaknya adalah negara dan nazir. Demikian kata Prof Amelia Fauzia PhD dalam Pelatihan Nazir Wakaf  (8/7/2021).

Direktur Social Trust Fund UIN Syarif Hidayatullah ini menyampaikan pendapatnya sebagai narasumber pada Pelatihan Nazir Secara Virtual Seri I, Kamis, 8 Juli 2021 pukul 08.45-12.15 WIB yang diikuti 396 nazir dan peminat wakaf. Pelatihan diselenggarakan oleh Baitul Mal Aceh (BMA) berlangsung melalui aplikasi zoom, menghadirkan dua narasumber lainnya, Direktur Keungan Sosial KNEKS Dr Ahmad Juwaini dan Mohammad Haikal ST MIFP (Anggota Baitul Mal Aceh).

Menurut Fauzia, wakaf dalam sejarah awal nusantara, telah ada dalam bentuk wakaf khairi dan wakaf ahli. Ada keragaman bentuk wakaf, seperti tanah, masjid, sawah, kebun, sekolah dan makam. “Mayoritas wakaf dalam bentuk tanah dan bangunan.  Kebanyakan bisa dikatakan tidak produktif,” katanya.

“Aceh menyumbang wakaf yang sangat besar, di antaranya wakaf pemondokan di Mekah dan Madinah. Ada juga pemondokan haji dari Banten, Pontianak, dan Riau. Dulu, mayoritas wakif adalah dari kelas ekonomi atas atau kelompok elit. Pada saat itu, perkembangan wakaf terkait dengan ekonomi dan mazhab fikih wakaf,” urai Amelia.

Membahas topik Sejarah Pengelolaan Wakaf di Indonesia, dia menguraikan sekilas pengelolaan wakaf pada masa kolonial, setelah kemerdekaan dan kontemporer. Dia katakan, di bawah pemerintahan kolonial wakaf semakin masif mulai abad 19 dalam bentuk wakaf masjid dan pesantren. “Ketika itu, sudah mulai ada pencatatan wakaf tahun 1906 oleh pejabat kantor urusan agama,” katanya.

Potensi dan tantangan

Menurut Amelia Fauzia, potensi dan tantangan pengelolaan wakaf kotemporer sangat ditentukan oleh nazir. Potensi kemajuan wakaf sangat tinggi, sebab ijtihad fikih wakaf yang kontekstual mulai muncul. Demikian juga sudah ada penguatan nazir wakaf profesional, adanya inovasi lembaga filantropi Islam dan dukungan pemerintah (BWI dan  BMA).

“Tantangan perkembangan wakaf juga cukup tinggi diantaranya pemahaman fikih yang lemah, mayoritas nazir bekerja paruh waktu dan belum memiliki manajemen pengelolaan yang baik. Administrasi dan birokrasi yang lemah, dan perubahan ekonomi yang perlu direspon oleh fikih dan regulasi,” urainya.

Amelia menambahkan pentingnya meraih kepercayaan (trust) masyarakat dalam pengelolaan wakaf. Terkait dengan trust terhadap nazir, ini terkait dengan komunikasi, transparansi, dan laporan yang bagus. Nazir mestilah bekerja profesional untuk mendapatkan kepercayaan publik.

“Kita bisa tunjukkan pengelolaan wakaf yang baik, misalnya pengelolaan wakaf Baitul Asyi yang sangat luar biasa, tapi bukan berarti di Aceh sendiri tak ada pengelola yang bagus. Banyak contoh-contoh baik yang perlu terus dipublikasikan. Kita punya potensi besar nazir untuk pengelolaan wakaf,” tambahnya.

Dia menyarankan, supaya nazir mengoptimalkan wakaf tunai (cash waqf) sebagai dana abadi. Wakaf ini bisa dikelola dalam bentuk investasi dan mengembangkan  wakaf produktif misalnya di bidang pendidikan dan kesehatan.

Dia menambahkan, sejarah filantropi ketika masa krisis menunjukkan semakin banyak orang berderma. Indonesia masih menjadi negara paling dermawan seluruh dunia.  Ada kultur kedermawanannya.  Lembaga wakaf semakin berkembang dan produktif di berbagai sektor, namun  ada fenomena yang kurang efektif saat penyaluran, contohnya, banyak tanah wakaf yang terabaikan, aset wakaf yang belum dikembangkan dan potensinya tidak bisa dimanfaatkan.[*]
Share:
Komentar

Berita Terkini