Budaya Tradisional Jawa, Aceh, Melayu. di Medan

Editor: Syarkawi author photo


Meuligoeaceh.com - Pendidikan merupakan cara seseorang memberitahukan atau mengajarkan sesuatu kepada orang lain, dan ini dapat dilakukan baik secara formal maupun informal. Pendidikan formal seperti pendidikan di sekolah-sekolah, pondok-pondok pesantren dan komunitas lainnya. Adapun pendidikan informal yaitu pendidikan yang diperoleh seseorang dalam rumah tangga seperti pendidikan yang dilakukan oleh ayah, ibu, paman, bibi, kakak, nenek, bahkan dari teman- teman sepergaulan

Pendidikan dalam keluarga, orang tua memegang peranan yang berkaitan dengan perilaku, pergaulan, kesusilaan dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam membentuk kepribadian anak. Semua tingkah laku dan sikap serta perbuatan, dilihat dari anggota keluarga yang lebih tua (dewasa). Orang tua (ayah dan ibu) selalu memberiikan contoh kepada anak- anaknya dengan keberhasilan orang lain, misalnya tetangga yang anaknya berhasil menyelesaikan sekolah atau mendapat pekerjaan.

Sebagai salah satu contoh dalam satu keluarga yang memiliki beberapa orang anak, orang tua menganjurkan kepada anak-anaknya untuk menghormati kepada anak yang lebih tua atau seorang adik harus menghormati kakaknya. Hal ini dimaksudkan agar anak yang lebih muda tidak boleh berani atau melawan kakaknya, yang berarti kakak dapat berperan sebagai pembimbing kepada adik-adiknya. Orang tua menunjukkan kepada anak-anaknya bahwa pengalaman dan pengetahuan anak yang lebih tua (kakak) dianggap lebih banyak daripada adiknya.

Tidak jarang seorang kakak menegur adiknya untuk tidak melakukan hal-hal yang dianggap salah, dan memberikan perintah sesuai petunjuk pada apa yang dikehendaki orang tuanya atau pengalamannya. Sebagai adik diwajibkan untuk mematuhi kehendak kakaknya, dan anjuran ini ditanamkan oleh orang tua menyangkut sikap dalam hubungan antara kakak dan adiknya atau sebaliknya. Sikap hormat dari adik terhadap kakak penekanannya didasari dengan kerukunan dan keakraban. Hormat di sini mengandung arti tidak boleh mencemooh, mengolok-olok terhadap orang yang lebih tua, termasuk kakak.

Dilihat dari status atau peran seorang anak yang tertua terhadap adik-adiknya, ia seakan-akan sebaga penghubung atau perantara mengenai segala sesuatu yang diajarkan dari orang tua mereka, yang menyangkut kewajiban-kewajiban dan tugas-tugas serta pengertian sehari-hari dalam kelancaran hidup secara kontinyu.

Dalam pendidikan keluarga yang berbasis budaya tradisional Jawa, terutama bagi masyarakat perkotaan di Kota Medan, pendidikan ini sangat penting. Melalui pendidikan yang berbasis budaya tradisional dapat diketahui aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat terutama yang tinggal di perkotaan seperti Kota Medan, mengenai sopan santun, cara-cara bergaul dan lainnya.

Pendidikan berbasis budaya tradisional yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anak mereka tidak semua dapat diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari karena sudah berbaur dengan pendidikan yang modern dalam arti tidak meninggalkan aturan-aturan adat istiadat sebagai etnis Jawa. Secara tradisional, komunikasi di kalangan orang Jawa berjalan dari atas ke bawah. Begitu juga komunikasi yang berlaku bagi masyarakat Jawa yang tinggal di Kota Medan.Komunikasi vertikal bukan hanya berlaku antara atasan dan bawahan dalam pekerjaan dinas, tetapi juga berlaku di dalam keluarga. Pimpinan atau orang tua (ayah) merupakan pengikat secara keseluruhan untuk dapat memberikan pengarahan dan keputusan dalam rumah tangga.

Sesuai dengan pola hidup masyarakat Jawa di Kota Medan, orang tua tetap menanamkan konsep- konsep Jawa dalam kehidupan seperti ojo dengki (tidak boleh jahat), srei dahwen (tidak boleh mengolok-olok), kemeren (tidak boleh menginginkan sesuatu yang bukan miliknya). Hal ini sebenarnya cukup untuk memberikan pegangan yang kuat bagi lingkungan masyarakat Jawa. Namun konsep ini dianggap oleh sebahagian masyarakat yang tinggal di perkotaan sebagai nasihat bagi anak-anak di bawah umur.

Peranan ayah sebagai pemimpin rumah tangga dalam hubungannya dengan ibu berjalan selaras dalam mengatur dan menegakkan rumah tangga. Ayah berperan sebagai penentu dalam menghadapi masalah- masalah dalam rumah tangga yang sebelumnya telah dipertimbangkan dengan ibu.Jikapun ada anggota keluarga lainnya yang sudah dewasa kadang-kadang dilibatkan dalam memberii keputusan, namun sebagai penentu tetap terletak pada ayah. Di sini terlihat kuatnya azas kerukunan dan kebersamaan.

Hubungan dalam keluarga ketika menentukan langkah kebijakan selalu dilakukan dimana ada waktu, dalam situasi yang tidak resmi atau khusus, seperti waktu makan, nonton TV. Maka setiap saat bila mereka sempat bertemu dan berbicara itu sudah dianggap cukup diketahui bersama. Orang tua dalam memberikan instruksi kepada anak-anak, khususnya yang menyangkut masalah pekerjaan sehari-hari selalu memberiikan contoh-contoh atau praktek-praktek pekerjaan tersebut, karena orang tua berharap agar anaknya mampu untuk menjalankan sesuatu pekerjaan bagi kepentingan masa depan yang lebih baik. Selain itu orang tua juga menginginkan agar nilai-nilai dari orang tuanya terdahuludapat mereka wariskan atau mereka turunkan pada anak atau generasi di bawahnya.

Dalam satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak, anak tertua dianggap yang paling dituakan. Anggapan ini dipakai oleh anak yang umurnya lebih muda. Hal ini sebagaimana layaknya terdapat dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya.

Orang Jawa di Medan

Dalam kehidupan masyarakat Jawa di Kota Medan, yang hidupnya memiliki keberagaman pekerjaan seperti menjadi pegawai negeri, polisi, pedagang dan lain-lain, pola pendidikan anak umumnya hampir sama.Anak laki-laki mempunyai peran yang lebih dari pada anak perempuan, sebab anak laki-laki dapat dipersiapkan menjadi pelindung (mengayomi) dalam keluarga, sehingga antara anak laki-laki dan perempuan mendapat pengarahan yang berbeda dari kedua orang tuanya. Anak laki-laki kebanyakan diarahkan oleh ayahnya, sedangkan anak perempuan kebanyakan diarahkan oleh ibunya. Pengarahan anak perempuan dari ibunya awalnya mengarah pada kegiatan di rumah, namun setelah besar diarahkan juga untuk dapat bekerja seperti anak laik-laki, untuk dapat membantu ekonomi rumah tangga kelak.

Anak dalam keluarga mempunyai arti dan fungsi, anak dapat menjadi tumpuan harapan keluarga, anak dapat juga di jadikan tempat untuk mencurahkan segala perasaan orang tua, baik perasaan senang ataupun perasaan murung. Selain itu anak diharapkan dapat menjadi generasi penerus orang tua atau keluarga. Oleh karena itu anak merupakan dambaan keluarga yang kelak kemudian hari dapat menjadi penerus cita-cita keluarga. Hal itu tidak terkecuali, baik keluarga orang kota maupun orang desa.

Perhatian keluarga terhadap anak dimulai sejak anak belum lahir diharapkan anak dapat lahir, sehat dan lengkap. Dalam mendidik anak, orang tua menanamkan hal-hal yang bersifat baik seperti memberiikan nasihat- nasihat, menerangkan disiplin dalam kegiatan sehari- hari, memberiikan tauladan tanggung jawab baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan di luar keluarga. Ini dimaksudkan agar anak dapat bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan adat budaya yang dimiliki, karena pendidikan anak merupakan aspek penting dari kebudayaan.

Keluarga merupakan lingkungan utama bagi anak-anak dalam proses pendidikan orang tua sekaligus tempat menerima pelajaran mengenai norma-norma adat. Namun ketika orang tua berharap kepada anak-anaknya untuk dapat mengikuti acara adat yang dilakukan dalam keluarga, mereka enggan untuk turut serta dalam kegiatan tersebut karena dianggap membosankan. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh budaya kota yang serba praktis begitu kuat mempengaruhi sikap anak, yang akan menentukan bagaimana sikap dan prilaku untuk mempertahankan budaya yang akan diwariskan.

Beberapa tradisi yang biasanya dilakukan oleh orang Jawa dalam kehidupan sehari-hari seperti tradisi membuat bubur merah putih setelah salah satu anggota keluarga sembuh dari sakit, melakukan puasa mutih untuk mencapai niat seseorang agar keinginannya itu terwujud. Misalnya seorang anak mengikuti tes penerimaan pegawai negeri, orang tua melakukan puasa mutih berharap anaknya akan lulus dan diterima bekerja. Hal-hal seperti itu sudah jarang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang ada di Kota Medan, karena mereka beranggapan bahwa itu merupakan tradisi Jawa yang boleh atau tidak dilakukan. Mereka kini lebih yakin untuk menjalankan ritual berdasarkan pada keyakinan dan aturan-aturan dalam agama.

Dalam keluarga, masalah disiplin di titik beratkan pada anak sejak usia dini, karena belum begitu banyak pengaruh dari luar yang mempengaruhinya diharapkan pada saat dewasa dapat terus terbawa sikap disiplin tersebut. Beberapa contoh dalam keluarga yang menerapkan kedisiplinan seperti disiplin makan-minum, disiplin tidur dan istirahat, belajar mengajar, bersosialisasi dan beribadah. Untuk menerapkan disiplin pada anak tidak bisa terlepas adanya hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak, sebab hubungan yang terjalin antara orang tua dan anak akan mempermudah pengajaran kedisiplinan. Hubungan tersebut akan tercermin dari sikap orang tua dan pola asuhnya terhadap anak. Untuk menanamkan disiplin bagi si anak ada beberapa macam cara yang dilakukan seperti:

1. Orang tua selalu memberi contoh kepada anak mulai sejak kecil dengan mengajarkan hal-hal tertentu agar si anak mau mengikuti, ini dilakukan dalam suasana santai dan memberi perintah kepada si anak dengan cara halus, artinya tidak ada unsur paksaan sama sekali. Tentu saja cara ini membutuhkan waktu serta kesabaran dari orang tua.

2. Dengan cara paksaan, meskipun dampaknya akan menimbulkan problema bagi si anak ketika ia dewasa, karena secara psikologis akan tertanam rasa ragu dalam bersikap atau mengambil keputusan. Oleh karena adanya rasa takut inilah si anakakan melaksanakan perintah orang tua dengan terpaksa.

3. Penerapan disiplin dengan cara si anak diberi dorongan, baik dengan kata-kata ataupun hadiah, sebenarnya cara ini juga ada kelemahannya karena si anak akan selalu mengharapkan hadiah untuk berbuat sesuatu.

4. Ada pula yang beranggapan bahwa si anak akan tahu sendiri bagaimana ia akan bersikap, karena sebahagian orang tua menganggap bahwa dengan bertambahnya usia si anak, maka pola pikirnya akan semakin maju.

Sebagian dari masyarakat menganggap bahwa anak- anak yang sudah memasuki usia sekolah secara tidak langsung sudah dilatih masalah disiplin Anggapan ini terbentuk karena pada saat bersekolah sudah ada waktu- waktu tertentu kapan anak-anak masuk sekolah, istirahat serta pulang sekolah. Oleh karena itu si anak harus bisa membagi waktu kapan mereka harus bangun, mandi, makan, dan lain sebagainya. Dalam hal ini orang tua masing-masing tetap harus ikut membantu sang anak membagi waktunya.

Dalam masyarakat Jawa, bagi anak yang sudah besar diterapkan disiplin tentang bagaimana cara makan yang sebaiknya. Bila ada anak-anak makan di depan pintu akan ditegur agar tidak makan di tempat itu. Bagi orang Jawa, makan di depan pintu, apalagi dilakukan oleh anak perempuan dapat menghambat jodoh.Sebenarnya ini bermakna dengan makan sambil duduk di pintu secara tidak langsung akan mengganggu atau menghalangi orang yang ingin lewat dan dinilai kurang sopan. Ketika makan tidak boleh menyangga piring, piring diletakkan di atas telapak tangan sebelah kiri, hal ini dimaksudkan agar supaya piring tersebut tidak jatuh kemudian pecah.

Ungkapan-ungkapan di atas sebenarnya secara tidak langsung bermaknamemberikan pesan kepada anak atau mendidik kesopanan. Dalam masyarakat Indonesia memang banyak terdapat ungkapan tradisional sebagai peninggalan nilai-nilai budaya yang mengandung pesan- pesan, nilai-nilai luhur, norma-norma dan bahasa yang merupakan ide vital budaya. 

Pola interaksi dalam pergaulan masyarakat Jawa terdapat prinsip-prinsip kerukunan dan rasa hormat. Mereka harus dapat menempatkan diri serta menunjukkan rasa hormat terhadap orang lain sesuai dengan derajat dan kedudukannya, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Demikian juga dengan masyarakat Jawa yang ada di Kota Medan, meskipun mereka berhadapan dengan budaya dari etnis lain, rasa hormat dan kerukunan tetap mereka jaga, karena orang harus mengikuti norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku dalam masyarakat dan menyesuaikan diri dengan norma ataupun aturan yang ada.

Awal pendidikan dimulai dalam keluarga yang ditunjukkan oleh orang tua kepada anak, bagaimana anak harus bersikap terhadap orang tua atau sebaliknya, bagaimana komunikasi dengan saudara dan lebih luas lagi, bagaimana harus bersikap dengan orang- orang diluar lingkungannya dan kerabatnya.Dalam aturan berkomunikasi antar keluarga, orang Jawa selalu menggunakan bahasa jawa yang memiliki tingkatan yaitu bahasa Jawa ngoko dan kromo menerapkan bahasa Ketika Jawa seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan dengan siapa la berbicara berdasarkan usia maupun status sosialnya.

Bahasa Jawa ngoko dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab dan ketika berhadapan dengan orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah status sosialnya. Adapun bahasa Jawa kromo digunakan untuk berbicara kepada orang yang belum dikenal akrab dan juga terhadap orang yang lebih tua usianya serta status sosialnya. Namun tidak begitu yang berlaku bagi masyarakat Jawa yang ada di Kota Medan. Pada umumnya komunikasi yang berlaku antara orang tua dengan anak-anaknya tidak menggunakan bahasa Jawa, tetapi menggunakan bahasa Indonesia, bahasa yang secara umum digunakan oleh masyarakat lainnya di Kota Medan.

Akan tetapi, apabila ada hal-hal yang dirahasiakan oleh orang tua terhadap anak-anaknya, maka antara ayah dan ibu menggunakan bahasa Jawa agar anak tidak mengetahui masalah yang dibicarakan. Hal ini menunjukkan bahwa orang tua tidak dapat memaksakan kepada anak untuk mempertahankan bahasa Jawa sebagai identitas etnis mereka. Sudah sewajarnya bila ada suatu kebiasaan yang berlaku dalam satumasyarakat selalu diwariskan kepada anak-anak sebagai generasi penerus agar adat-istiadatmereka dapat bertahan. Meskipun masyarakat Jawa yang ada di kota Medan tidak menutup kemungkinan tetap mendapat pengaruh dari lingkungannya, pendidikan yang diterapkan dalam keluarga berupa sopan-santun, disiplin merupakan bagian penting untuk mengimbangi kehidupan modern. Bentuk pendidikan keluarga bersifat terbuka dalam arti tidak menutup diri dari pengaruh budaya perkotaan, namun tetap menjaga budaya tradisional. Dengan demikian dapat diketahui bagaimana masyarakat Jawa melakukan pendidikan, yang secara tidak langsung akan menentukan kepribadian anak kelak meskipun tidak semua tata aturan dapat diaplikasikan dalam kehidupan.

Orang Aceh di Medan

Pada orang-orang Aceh di Medan, ungkapan dari kampung halaman Aceh yang berbunyi "Adat bak pho teu meureuhom, hukom bak Syiah Kuala. Adat Ngon hukom hana tom Tjere, Lagee Zat Ngon Sifeut" adalah ungkapan yang cukup populer.Ungkapan itu menggambarkan betapa eratnya hubungan antara adat dan agama, dianggap satu, dan tidak dapat dipisahkan. Artinya, adat yang berlaku di Aceh harus disesuaikan dengan ketentuan hukum Islam. Berpedoman pada kedua norma itulah orang Aceh menjalankan kehidupan mereka sehari-hari. Kedua norma itu dijadikan tempat berpijak dalam mengatur tindakan, aktivitas, tata pergaulan dan interaksi mulai dari lingkungan paling kecil (keluarga) hingga ke masyarakat luas.

Untuk memperkenalkan norma-norma itu (agama dan adat tradisi setempat) keluarga memegang peranan yang sangat penting. Dalam masyarakat Aceh, peran ini biasanya berada di tangan seorang perempuan (ibu). Hal ini sesuai dengan tradisi yang berlaku dalam suatu keluarga Aceh terkait dengan pembagian kerja, yakni ibu diberi tanggung jawab menjaga dan mendidik anak-anaknya di samping menangani urusan domestik lainnya, sedang ayah adalah pencari nafkah. Meskipun ayah menjadi pencari nafkah, kedudukan ayah dalam keluarga tetap tinggi. Ayah tetap menjadi penentu dalam menetapkan suatu keputusan atau kebijakan, bila ada hal-hal tertentu dalam keluarga yang memerlukan keterlibatan seorang ayah. 

Terkait dengan penelitian ini maka aspek norma yang akan dikaji antara lain adat perkawinan dan adat istiadat lainnya yang terkait dengan daur kehidupan manusia, tutur sapa dalam hubungannya dengan kekerabatan, tingkah laku atau sopan santun.Seperti lazimnya masyarakat lain yang ada di Indonesia, perkawinan dalam masyarakat Aceh mengandung nilai- nilai budaya di samping nilai agama. Oleh karena itu untuk sampai ke tahap sebuah perkawinan, ada beberapa proses yang harus dijalankan oleh seseorang yang akan melepaskan masa mudanya.

Proses pertama adalah rembukan. Rembukan dilakukan oleh pihak keluarga pria karena biasanya permintaan untuk menikah datang dari pihak pria bukan wanita, sesuai dengan ungkapan Aceh "kon mon mita tima", bukan sumur minta timba. Dari rembukan, dilanjutkan ke adat meulakee (meminang), peukong haba/narit (pertunangan). Pada tradisi peukong haba/narit, mas kawin ditentukan bukan dengan takaran gram, tapi mayam dan satu mayam sekitar 3,3 gram. Penetapan uang mahar di Aceh biasanya cukup tinggi, sekitar 20 mayam. Apalagi yang akan menikah keturunan bangsawan kaya atau orang kaya. Keluarga mempelai pria sudah memahami akan hal itu.

Sebelum meningkat ke upacara resepsi pernikahan, pihak keluarga mempelai wanita melakukan tradisi boh gaca (berinai), peusijuek (tepung tawar) untuk anak wanita yang akan dinikahkan. Selanjutnya adalah acara antat linto, mengantar pengantin pria ke rumah pengantin wanita sebagai tanda dilaksanakannya resepsi pernikahan. Aktivitas dalam tradisi tersebut di atas melibatkan tidak hanya kedua orang tua, kerabat, tapi juga peran seulangkee (perantara) tidak dapat diabaikan begitu saja termasuk mungkin warga setempat. Pada masa dahulu, perkawinan sekufu di kalangan kaum bangsawan di Aceh menjadi model untuk kepentingan politik dan mempertahankan status kebangsawanan. Akan tetapi kini, khususnya di Medan, perkawinan sekufu tidak menjadi tuntutan, walaupun bukan berarti hilang sama sekali.

Pelaksanaan upacara-upacara adat itu tidak terhenti setelah seseorang menikah. Ketika seseorang hamil, melahirkan dan sesudah melahirkan, ketika anak yang dilahirkan masih bayi serta memasuki usia-usia tertentu, upacara-upacara yang berbau tradisi masih mewarnai kehidupannya. Beberapa bagian dari tradisi ini terkait dengan anjuran-anjuran agama, seperti tradisi azan atau qamat yang dilakukan begitu anak baru dilahirkan, upacara aqikah yang dapat juga dilaksanakan tujuh hari setelah bayi dilahirkan. Upacara aqikah dalam masyarakat Aceh terkadang menjadi kewajiban dan biasanya dilakukan bersamaan dengan upacara cuko ok (potong rambut) dan upacara boh nan (memberi nama).

Tradisi cuko ok dimaksudkan untuk membuang rambut kotor yang dibawa dari lahir, di samping agar rambut si anak tumbuh lebih subur lagi. Awal pencukuran rambut yang dimulai dari rambut sebelah ubun-ubun dan diiringi dengan ucapan kata bismillahirrahmanirrahim. Untuk pemberian nama, nama-nama yang lazim diambil terutama untuk anak laki-laki bersumber pada nama-nama 25 nabi atau keturunan nabi Muhammad. Nama-nama Fatimah, Aisyah, Habsyah cukup digemari kalangan masyarakat Aceh. Selain nama-nama resmi itu, kadang-kadang anak- anak dipanggil dengan nama-nama panggilan berbau Aceh seperti agam, inong, manyak, cut, nyak cut, cut bang, cut ngoh.

Kewajiban dalam Islam yang kemudian berbalut dengan tradisi adalah kewajiban bersuci (mandi nifas) bagi seorang ibu setelah 40 hari melahirkan. Di Aceh mandi bersuci dilakukan pada hari ke 44 setelah melahirkan karena terkait dengan cara-cara perawatan tradisional peutron dapu (turun dapur). Perawatan
tradisional ini mulai dilakukan pada hari kedua atau ketiga setelah seorang ibu melahirkan hingga hari yang ke 44. Peutron dapu dapat bermakna menghang vang (madeung) tubuh wanita yang melahirkan dengan tujuan agar wanita itu kuat dan awet kembali seperti semula, di samping dapat memperlambat proses kehamilan berikutnya,

Setelah anak berusia tujuh tahun, maka tanggung jawab lain dari orang tua adalah memberiikan pendidikan. Selain ke sekolah-sekolah umum, pendidikan penting lainnya adalah euntat beut (mengaji). Mengaji menjadi kewajiban yang harus diberikan oleh orang tua agar ia tidak berdosa, dan anak-anak Aceh wajib menjalankannya agar mereka dapat menunaikan perintah-perintah Allah serta menjauhi larangannya. Pada masa dahulu ketika anak- anak diantar mengaji kepada seorang guru mengaji ibu akan membawa pulut kuning, kelapa merah (inti), bertih dan Juz Amma. Pulut kuning perlambang ingatan, agar apa yang diajarkan oleh guru melekat di hati dan pikiran si anak. Kelapa merah (inti) bermakna agar hati menjadi terang dan mudah dalam memahami pelajaran, sedang bertih melambangkan hati yang bersih.  Perlengkapan ini diberikan kepada guru untuk kemudian dibagikan ke murid-murid lainnya.

Pulut kuning beserta inti dan bertih atau bahan untuk tepung tawar dibawa juga ketika anak-anak telah menyelesaikan Juz Amma dan khatam Al-Qur'an. Adakalanya, khataman Al-Qur'an dilakukan bersamaan dengan acara meusunat (sunat anak laki-laki). Meusunat di kalangan masyarakat Aceh khususnya sudah ditradisikan karena dianggap sebagai kewajiban utama. Setelah disunat, barulah seorang anak dianggap telah masuk golongan muslim. 

Pendidikan lain yang juga sangat penting yang diterima oleh anak-anak sejak kecil adalah bagaimana berprilaku dan bertutur sapa ketika berhadapan dengan orang yang lebih tua, dengan sesama, kerabat, atau ketika berinteraksi dengan masyarakat agar sesuai dengan norma yang berlaku.

Dalam aturan-aturan berprilaku, ada adat pantang larang dalam masyarakat Aceh. Adat pantang larang itu misalnya larangan memegang kepala orang lain, menendang, menunjuk sesuatu dengan kaki, mengeluarkan angin dari dubur hingga terdengar oleh orang lain, bersendawa ketika makan bersama dengan orang lain, tidak memakai basahan ketika mandi, menginjak tutup kepala orang lain, atau menginjak makanan, bermain-main di kala magrib menjelang, dan makan nasi tidak dihabiskan (tersisa). Demikian juga dengan adat sopan santun, seperti bagaimana seorang anak berjalan di hadapan orang tua atau orang yang lebih tua darinya, diajarkan oleh ibu kepada anak-anak dalam bentuk perbuatan dan kata-kata. Pengetahuan ini terkadang juga mereka peroleh dari tempat pendidikan agama.

Di kalangan masyarakat Aceh, ada sapaan- sapaan tertentu yang sudah diatur sedemikian rupa untuk menunjukkan hubungan kekerabatan anupa seseorang dengan yang lainnya. Sebutan untuk sapaan ini mungkin berbeda antara satu daerah Aceh dengan daerah Aceh lainnya. Sapaan-sapaan itu misalnya ayah cek, mak cek, ayah mu, nyak mu, nyak ngoh, ayah ngoh, ayah bit, ayah cut, dan ma cut.

Oleh karena pendidikan terhadap anak-anak lebih banyak diperankan oleh kaum ibu, maka ayah jarang menegur anaknya secara langsung ketika si anak berprilaku tidak baik. la hanya akan menegur istrinya dan selanjutnya istri akan menegur anaknya. Demikian juga bila si anak menginginkan sesuatu dari sang ayah maka ia akan menyampaikannya kepada ibu dan berikutnya si ibu akan menyampaikan permintaan anaknya itu pada sang suami. Ibu dalam hal ini bertindak sebagai perantara, sementara ayah dalam kehidupan pada satu keluarga merupakan sosok yang disegani oleh anggota keluarganya.

Hubungan antara mertua dan menantu sangat terjaga untuk saling menghormati. Sebenarnya dalam tradisi Aceh, antara menantu dan mertua sangat jarang berhadapan langsung dan bertegur sapa, apalagi duduk makan atau mengobrol bersama. Kalaupun ada hal-hal yang ingin disampaikan, biasanya melalui istri atau suami, atau orang ketiga lainnya.

Seperti yang telah disebutkan, peran ibu dalam keluarga Aceh untuk menanamkan nilai-nilai budaya tidak dapat diabaikan. Pemahaman seorang anak terhadap aturan berprilaku dan bertutur kata yang sesuai dengan ketentuan adat sangat tergantung dari bagaimana ibu mengajarkannya sehingga dapat dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Dari uraian-uraian tersebut di atas tergambar bahwa pendidikan berbasis budaya dan bahkan agama pada masyarakat Aceh berawal dari keluarga. Artinya keluarga dapat menjadi media pewarisan untuk menanamkan nilai-nilai budaya khususnya bagi anak- anak.Di samping itu lingkungan yang homogen dapat membantu pendidikan berbasis budaya tradisional ini berjalan dengan baik dan mungkin bertahan. Akan tetapi sistem pewarisan nilai-nilai budaya tradisional berbasis keluarga mungkin tidak selamanya efektif, terutama ketika pendukung budaya itu sudah berada di luar lingkungan dimana budaya itu lahir dan memilih tinggal di kota-kota besar.

Medan sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia menjadi salah satu tempat yang dipilih oleh orang Aceh sebagai tempat bermukim baru di luar Aceh. Kedatangan awal orang Aceh ke Kota Medan tidak dapat diketahui secara pasti, tapi kekuasaan kesultanan Aceh pernah "merajai" wilayah ini bergantian dengan Siak. Berbagai alasan dikemukakan oleh orang Aceh menyangkut kepindahan mereka ke Kota Medan, diantaranya karena faktor ekonomi dan politik. Memang saat wilayah Aceh dilanda konflik politik, seperti peristiwa Perang Cumbok, DII/TII, dan peristiwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mayoritas orang Aceh memilih pindah ke Medan selain ke Jawa dan Malaysia.

Di Kota Medan mereka memilih tempat tinggal tertentu.Daerah jalan Binjai dan sekitarnya menjadi pilihan utama waktu itu karena dianggap tidak terlalu jauh bila ingin pulang kampung. Di samping daerah Binjai dan sekitarnya, pemukiman orang Aceh lainnya berada di sekitar Kota Matsum. Pemukiman-pemukiman baru berada di daerah Krakatau, Setia Budi, dan lain- lainnya.Pola pemukimannya orang Aceh di Medan tidak menumpuk pada satu tempat walaupun berada dalam satu wilayah.Pola pemukimannya tersebar, berdampingan dengan suku-suku lainnya.

Berada di pemukiman berbeda di Kota Medan berdampingan dengan suku-suku lain, selain suku sendiri walau jadi dan memilih menikah dengan sesama suku, sedikit banyak berdampak pada sistem pendidikan anak di keluarga dalam rangka mewariskan nilai-nilai budaya Aceh. Dari hasil studi lapangan dapat diuraikan disini bahwa umumunya orang-orang Aceh di Medan ketika menikah tetap melaksanakan perkawinan sesuai dengan adat Aceh dan agama, mulai dari peminangan hingga resepsi pernikahan. Penetapan jumlah uang mahar dengan istilah mayam masih seperti yang berlaku di Aceh, namun bila pihak keluarga laki-laki tidak dapat memenuhi jumlah mahar yang ditetapkan itu, mereka masih dapat bernegoisasi secara terbuka.

Pelaksanaan perkawinan orang Aceh di kota Medan tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan- ketentuan yang berlaku. Di samping karena memakan waktu yang lama, juga memerlukan biaya yang tidak sedikit sehingga beberapa bagian berubah atau tidak dilakukan lagi. Misalnya pada malam boh gaca biasanya calon pengantin perempuan di peusijuek terlebih dahulu.Kini peusijuek dilakukan hanya pada saat resepsi perkawinan yaitu ketika mempelai wanita dan pria sudah berada di pelaminan.Kedua pasangan ini di peusijuek secara bergiliran oleh keluarga kedua belah pihak. 

Tradisi malam berinai pun perlahan-lahan mengalami perubahan, karena berkembangnya seni berinai dengan beragam motif.Seni berinai lebih disukai oleh calon pengantin perempuan masa kini. Berinai pun kini dapat dilakukan oleh calon pengantin perempuan tidak hanya di rumah atau bidan pengantin tapi juga di salon-salon.Memakai inai dengan model seperti itu lebih aman dari rasa malu. Kini berinai dimaknai sebagai usaha mempercantik tangan, kuku, dan kaki menjelang pernikahan, bukan mencari makna yang tersirat dari warna merah inai.

Acara khatam al-Qur'an yang biasanya dilakukan bersamaan dengan tradisi boh gatja kini sudah jarang dilakukan.Salah seorang narasumber menceritakan, dari lima orang anak perempuannya, hanya anak pertama yang melaksanakan tradisi khatam Al-Qur'an bersamaan dengan malam boh gaca. la memberikan alasan, "ini merupakan perkawinan anak pertama saya (1975) di keluarga saya. Saya menginginkan perkawinan Itu benar-benar bernuansa budaya Aceh meskipan masih ada kekurangan disana sini. Kebetulan meskipun saya pun masih termasuk kerabat dari suami saya yang berasal langsung dari Aceh", "la kembali menuturang "kenduri khatam Al-Qur'an untuk anak-anak kami sebenarnya sudah pernah kami buat setelah anak-anak kami menamatkan al-Qur'an pertamanya. Mereka kami sanding dengan memakai pakaian Aceh. Adapun khatam pada saat anak perempuan pertama saya akan menikah hanya mengikuti tradisi saja."

Salah satu tradisi dalam adat perkawinan Aceh adalah pijak telur, dan tidak semua orang Aceh di Medanmelakukannya. Di daerah asalnya, adat pijak telur yang diiringi dengan membasuh kaki mempelai pria dilakukan oleh ibu mertuanya. Di Medan kini dilakukan oleh mempelai wanita. Ketika ditanya mengenai perbedaan ini, Cut Animar menjawab, "tidak sepatutnya ibu mertua yang melakukannya. Pengabdian terhadap suami melalui simbol-simbol itu seharusnya dilakukan oleh sang istri." 

Cut Animar yang menikah dengan Teuku Muhammad Hasan Thaib di Sukabumi mengakui bahwa semua anak-anak ketika kawin memakai adat Aceh meski ada menantunya yang bukan suku Aceh. Ketika anak atau menantunya memasuki usia kehamilan tujuh bulan, ia melakukan tradisi ba bu (bawa nasi) untuk mereka. Untuk cucu-cucunya yang baru dilahirkan, Cut Animar menjalankan upacara peutron aneuk yang dilakukan setelah bayi berusia tiga sampai tujuh bulan dimaksudkan membawa bayi keluar rumah.

Adapun tradisi madeung yang dilaksanakan 2 atau 3 hari setelah melahirkan, tidak pernah dilakukan lagi oleh warga Aceh di Medan. Selain karena tempatnya tidak memungkinkan, juga karena dalam madeung banyak pantangan-pantangan yang harus dijalankan oleh sang ibu yang memakan waktu lama sehingga dianggap merepotkan

.Dengan segala keterbatasan dan perubahan, upacara adat Aceh seperti yang telah diuraikan di atas sesekali masih mewarnai kehidupan orang Aceh di kota Medan hingga kini. Mereka masih melaksanakan tradisi itu sebagai lambang identitas suku mereka di Kota Medan yang multikultural. Hanya saja tradisi-tradisi ini jarang diturunkan secara khusus oleh orang tua kepada anak-anak mereka meskipun orang tuanya memiliki pengetahuan tentang hal itu. Pelaksanaan adat tradisi yang terkait dengan daur kehidupan orang Aceh di Medan lebih banyak tergantung pada tenaga ahli seperti bidan pengantin atau orang-orang tua yang paham tentang itu.

Di kalangan masyarakat Aceh di Kota Medan, hari moklot (maulud) Nabi Muhammad S.A.W menjadi kewajiban untuk diperingati secara besar-besaran pada setiap tahunnya.Tradisi ini sudah lama berkembang di Aceh dan diperingati tepat pada 12 Rabiul awal ataupun sesudahnya. Peringatan tradisi moklot disebut kanuri moklot (kenduri maulud). Satu atau lebih ekor sapi disembelih dalam memperingati hari yang dianggap istimewa ini. 

Di Kota Medan peringatan kanuri moklot orang- orang Aceh dilakukan di bawah kordinasi organisasi Aceh Sepakat. Sebelum mesjid Raya Aceh sepakat berdiri di jalan Mengkara Medan, perhelatan kanuri moklot dilaksanakan di meunasah Aceh Sepakat yang terletak di jalan Medan Area Selatan Kota Matsum. Namun setelah mesjid Raya itu berdiri, kanuri moklot dilaksanakan di mesjid itu. Pada peringatan kanuri moklot akhir-akhir ini di Medan, banyak mengundang tokoh-tokoh masyarakat Aceh serta pejabat-pejabat baik dari Aceh maupun Jakarta.

Tinggal di Kota Medan, berbaur dengan warga masyarakat lainnya tidak menyebabkan orang-orang Aceh lupa pada kewajibannya memberii pendidikan agama pada anak-anaknya.Anak-anak Aceh di Kota Medan selain memperoleh pendidikan umum di sekolah-sekolah, juga wajib mendapatkan pendidikan agama.

Di Kota Medan, pendidikan agama yang disebut dengan mengaji tersebar baik di mesjid-mesjid, musalla- musalla, langgar, atau madrasah yang sengaja dibangun untuk itu. Tempat-tempat pendidikan ini khusus mengajarkan agama Islam saja, misalnya dari pengenalan awal membaca ayat-ayat suci hingga hukum-hukum Islam lainnya.

Tidak semua madrasah seperti ini menggunakan sistem kelas dalam belajar. Penggunaan sistem kelas tidak sama karena ada yang membatasi hanya sampai kelas IV, tetapi ada juga hingga kelas VI. Madrasah tanpa sistem kelas, hanya mengandalkan ukuran kemampuan murid membaca dan menyelesaikan Al- Qur'an 30 juz.

Keluarga orang Aceh yang sibuk tapi memiliki kemampuan ekonomi jauh lebih baik, lebih suka menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah Islam terkenal di Kota Medan, seperti Syafiatul, Al- Azhar, Harapan. Di samping karena "prestise", juga agar anak-anak mereka terjaga serta mendapat pendidikan umum dan agama yang dianggap jauh lebih baik.

Meskipun pendidikan agama masih menjadi prioritas bagi orang-orang Aceh yang tinggal di Medan, namun tradisi memanggil guru mengaji ke rumah untuk lebih memperlancar bacaan Al-Qur'an si anak mungkin sudah jarang dilakukan.Orang tua kini lebih banyak mengandalkan kemampuan itu kepada guru-guru mengaji, tempat anak-anak itu dididik.Begitu juga dengan kebiasaan membaca Al-Qur'an di rumah usai salat Magrib untuk mendapat pahala dari Allah, sudah hampir tidak diwarisi lagi.

Tinggal di kota Medan, berbaur, menikah dengan suku-suku yang berbeda tentu berdampak pada pergeseran seperangkat aturan, tingkah laku atau nilai- nilai lama sebagaimana lazimnya yang berlaku daları kehidupan orang Aceh. Hubungan antara mertua dan menantu yang selama ini diatur "sangat kaku" oleh tradisi Aceh mencair. Mereka tidak lagi saling menghindar ketika bertemu, atau saling membuang pandang ketika berkomunikasi. Kini antara mertua dan menantu dapat saling bertemu pandang dan bertegur sapa, duduk dan makan bersama dalam satu meja seperti layaknya kehidupan di perkotaan yang multikultural.

Demikian juga halnya hubungan antara ayah dan anak.Ibu tidak lagi berperan sebagai perantara ayah dan anak dalam menyampaikan sesuatu. Pembagian kerja yang jelas antara ibu dan ayah dalam urusan domestik membuka hubungan ayah dan anak menjadi lebih dekat, luwes sehingga anak-anak secara bebas dapat menyampaikan langsung keinginan-keinginan mereka pada sang ayah.

Pengaruh kehidupan di perkotaan tidak selalu membuat orang kesukuan. Terkait Aceh kehilangan dengan sapaan identitas kekerabatan, mayoritas informan mengakui masih mengharuskan anak-anaknya untuk menggunakan sapaan-sapaan kekerabatan khas Aceh ketika menyapa kerabat ayah maupun ibu mereka. Anak-anak mereka yang menikah dengan suku yang berbeda, maka sapaan itu disesuaikan dengan kebiasaan masing-masing suku sehingga memperkaya keberagaman budaya dalam keluarga itu.

Bila sapaan-sapaan kekerabatan masih dapat dipertahankan, maka tidak demikian halnya dengan panggilan khas Aceh untuk anak-anak mereka, seperti agam, inong, cut bang, sudah sangat jarang terdengar. Khusus untuk panggilan agam yang sering disingkat gam sudah tidak populer lagi karena khawatir dihubungkan dengan Gerakan Aceh Merdeka atau GAM.

Seperti halnya dengan sapaan kekerabatan yang tetap diajarkan kepada anak-anak, maka begitu juga dengan adat sopan santun. Adat sopan santun seperti yang diisyaratkan oleh agama dan tradisi Aceh masih melekat dalam kehidupan sehari-hari orang Aceh di kota Medan. Mengucapkan salim ketika masuk atau keluar rumah, meminta maaf sambil membungkuk ketika harus berjalan di depan orang lain, tidak memegang kepala orang lain secara sembarangan karena kepala dianggap fitrah, tidak mengeluarkan kata-kata kotor ketika marah, dan lain sebagainya.

Dalam kehidupan sehari-hari di rumah tangga, bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi antara ayah dan ibu biasanya bahasa Aceh. Bagi sebagian besar orang Aceh, bahasa yang dipergunakan dalam rumah ada dua yaitu bahasa Aceh dan bahasa Indonesia.Berkomunikasi dengan anak-anak lebih sering menggunakan bahasa Indonesia.Penggunaan bahasa Aceh dengan anak-anak dilakukan bila ada hal-hal penting atau yang bersifat rahasia yang ingin disampaikan sehingga orang-orang lain tidak tahu.Umumnya dalam menjawab anak-anak lebih suka menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Aceh kadang- kadang dipergunakan juga saat orang tua menasehati atau menegur anak-anak bila berprilaku kurang baik dihadapan orang lain sehingga anak terhindar dari rasa malu,

Orang Melayu di Medan

Di tempat yang sama, keluarga-keluarga Melayu di Medan memilih melaksanakan adat Istiadat mereka secara sederhana dan tidak kental seperti apa yang diturunkan oleh nenek moyang suku Melayu. Kegiatan- kegiatan adat Melayu lebih dipraktiskan, karena anggapan bahwa jika semua prosesi adat dilakukan akan memakan biaya yang cukup mahal. Misalkan saja pada saat pernikahan penggunaan dari sisi adat seperti bentuk pelaminan dan pakaian pengantin, hanya terlihat dalam acara resepsi saja. Artinya tidak semua kegiatan dalam upacara pernikahan dilakukan. Jika pada umumnya upacara adat pernikahan Melayu dilakukan mulai dari meresik/ meninjau, merasi, melamar/tunangan, gotong royong, pembacaan barzanzi & persediaan jamuan, upacara menggantung- gantung, malam berinai, khatam Al-Quran dan upacara lainnya pasca pernikahan, namun keluarga-keluarga Melayu membuatnya lebih praktis dan lebih sederhana, sehingga tidak semua dilaksanakan

Orang-orang Melayu di Medan sudah bercampur baur dengan masyarakat Medan lainnya sehingga dalam beberapa hal, banyak keluarga Melayu yang memilih untuk mengikuti adat budaya beberapa budaya lainnya di Medan. Sebagai contoh dalam upacara tujuh bulanan kehamilan, keluarga-keluarga Melayu lebih seringmenggunakan adat Jawaseperti membuat nasi urap, cendol dan rujak. Budaya Jawa memang cukuppopulerdi Medan karena orang-orang Jawa di Medan adalah etnis mayoritas.

Soal kepraktisan dalam melaksanakan adat budaya Melayu juga terlihat dalam hal peristiwa kematian. Dalam tradisi budaya Melayu jika seseorang meninggal dunia, maka keluarganya akan melaksanakanritual mengaji di kuburan pada hari ketujuh. Ritual ini saat ini sudah tidak dilaksanakan lagi karena tidak ada orang Melayu yang mau melaksanakannya lagi. Kalaupun ada, biasanya dilakukan oleh keluarga-keluarga Melayu yang kaya dengan cara mengupah orang untuk melaksanakannya.

Orang-orang Melayu mengajarkan pada anak anaknya untuk bergaul dan berteman dengan siapa saja. Hal ini menyebabkan banyak orang Melayu yang menikah silang budaya dengan suku lainnya. Seringkali sebagai akibat dari pernikahan silang budaya ini, adat budaya Melayu dipinggirkan dan keluarga-keluarga baru ini memilih untuk mengikuti adat budaya yang lebih praktis.Keluarga-keluarga baru ini lebih memilih pendekatan pendidikan agama Islam pada keluarga mereka.

Melayu memang identik dengan Islam.Orang- orang Melayu di Medan saat ini juga lebih menekankan pendekatan pendidikan agama Islam dalam keluarga mereka. Pendidikan keluarga dengan pendekatan agama Islam dianggap oleh orang-orang Melayu sebagai bagian dari cara mendidik dengan mengikuti adat tradisi budaya Melayu. Hal ini dilakukan karena adat budaya Melayu selalu dihubungkan dengan agama Islam.Kedekatan budaya Melayu dengan agama Islam dapat dilihat dari prosesi kelahiran, perkawinan, sampai kepada kematian.

Dalam komunikasi sehari-hari orang-orang Melayu di Medan sudah lebih sering menggunakan bahasa Indonesia. Dalam keluarga, yang biasa diajarkan juga biasanya bahasa Indonesia.Sesekali memang diajarkan bahasa Melayu namun tidak intensif. Orang- orang Melayu beranggapan bahwa mengajarkan Bahasa Indonesia pada anak-anak adalah juga mengajarkan bahasa Melayu, karena dasar dari bahasa Indonesia adalah bahasa Melayu.

Orang-orang Melayu hanya lebih sering menggunakan aksen Melayu mereka yang berakhiran "e".Namun seringkali orang-orang Melayu terutama generasi muda berusaha menghilangkan aksen tersebut karena malu disebut "Melayu kali bahasa kau". Di Kota Medan yang lebih identik dengan gayaberbahasa orang Batak yang keras, tegas, aksen bahasa Melayu menjadi unik jika terdengar dalam komunikasi sehari-hari orang Medan.

Orang-orang tua juga masih mengajarkan pada anak-anaknya sapaan dalam tradisi Melayu seperti emak, ayah. Sapaan kakak pun Melayu seperti kalau ke kakak pertama kak long, ke dua kak ngah, ke tiga kak lang, kalau ke adek yang paling kecil ucu. Selain itu, orangtua juga mengajarkan pada anak-anaknya untuk sekolah setinggi-tingginya. Untuk bidang pekerjaan setelah dewasa, orang tua tidak pernah memaksa anak- anak untuk menggeluti satu bidang tertentu.Kalau dahulu, banyak orang Melayu yang bertani, berkebun, menjadi nelayan atau berdagang, namun sekarang banyak dari orang Melayu yang memilih menjadi pegawai negeri.

Dalam hal kesenian, tidak banyak orang Melayu yang mengajarkan soal tari-tarian, berdendang ataupun bermain musik kepada anak-anaknya. Namun meski demikian, masih ada beberapa keluarga Melayu yang mengajarkan anak-anaknya berdendang, menari, dan bermain musik, ataupun melantunkan barzanji. Meski tidak diajarkan secara khusus tentang kesenian dalam keluarga, umumnya orang Melayu sudah senang bernyanyi atau mendendangkan lagu terutama lagu- lagu dengan gaya Melayu.

Bagi orang-orang Melayu ada pepatah "biar rumah runtuh asal gulai lomak lah pulak". Orang-orang Melayu di Medan masih melaksanakan pepatah tersebut dengan mengajarkan memasak gulai lomak pada anak-anak perempuannya.Gulai lomak bagi orang- orang Melayu di Medan adalah kebesaran orang Melayu, sehingga memasak gulai lomak adalah sebuah keahlian yang harus dimiliki oleh perempuan- perempuan Melayu.

(Pendidikan Keluarga Berbasis Budaya, Balai Pelestarian Nilai budaya 2013 / Berbagai sumber lain / Ais)

Share:
Komentar

Berita Terkini