Banda Aceh – Sang Budayawan dan Ahli Manuskrip Aceh Tarmizi A. Hamid yang akrap disapa cek Midi mengatakan tradisi Maulid Nabi Muhammad SAW di Aceh merupakan momen sakral dan didasari persaudaraan dengan nilai-nilai Islam yang terjalin. Maulid juga memiliki sejarah panjang di Aceh, perayaan Maulid memiliki makna yang mendalam dan berakar kuat dalam budaya masyarakat Aceh.
Melalui SKB 3 Menteri (Menteri PANRB, Menteri Agama dan Menaker) Nomor 855 Tahun 2023, Nomor 3 Tahun 2023, dan Nomor 4 Tahun 2023, pemerintah juga menetapkan maulid Nabi jatuh pada 16 September 2024. Penetapan ini menjadikan Senin, 16 September 2024 atau 12 Rabiul Awal 1446 H menjadi hari libur nasional.
Maulid Nabi di Aceh, kata Tarmizi, telah ada sejak kerajaan Aceh Darussalam dan sebelum kepemimpinan sultan Iskandar Muda. Pada abad ke 17 orang Aceh menggelar Maulid sebagai momentum untuk meningkatkan pemahaman Islam kepada anak-anak, masyarakat dan generasi penerus. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan pemahaman Islam secara menyeluruh kepada masyarakat serta generasi yang akan datang. Kemudian tujuan lainnya memperkuat keimanan dan kecintaan kepada rasulullah dengan membuat kenduri besar dan spesial. Nilai terkandung dalam Maulid ialah ketaatan kepada Allah SWT dalam arti mengikuti dan mencintai Rasulullah, itu adalah perintah Allah SWT yang harus ditaati.
Tarmizi mengatakan salah satu aspek unik dari Maulid di Aceh adalah perhatian yang diberikan kepada anak yatim, fakir miskin, dan kaum duafa. Dalam setiap kenduri, mereka dikhususkan untuk menerima perhatian dan kasih sayang serta makan bersama menciptakan tatanan sosial yang lebih baik.
Hal ini terlihat juga dalam Maulid Raya yang dilaksanakan oleh Pemerintah Aceh sejak tahun 2022 di Komplek Meuligoe Wali Nanggroe. Pada hari selasa, 20 Desember 2022 lalu, Pemerintah Aceh menggelar Maulid Raya Nabi Muhammad SAW dengan menyediakan 9.770 porsi makanan untuk tamu undangan dari berbagai unsur di Kompleks Meuligoe Wali Nanggroe Aceh kecamatan Darul Imarah kabupaten Aceh Besar. Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh selaku Ketua Panitia Penyelenggara, Bustami, menjelaskan peringatan maulid sebagai bentuk kecintaan terhadap Rasulullah, serta meningkatkan kebersamaan menikmati hidangan khas Aceh. Dalam kesempatan tersebut, juga diberikan santunan kepada 315 anak yatim.
Selanjutnya pada tanggal 12 Desember 2023 dilaksanakan kembali perayaan Maulid Raya Pemerintah Aceh di komplek Meuligoe Wali Nanggroe dengan dihadiri warga sekitar. Dikesempatan yang sama, Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud Al Haytar, dalam sambutannya mengatakan, peringatan maulid menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari peradaban Aceh yang berlandaskan nilai islam.
Maulid Raya turut dihadiri Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia, Ahmad Muzani beserta istri, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) Aceh, Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA), bupati/Walikota, dan sejumlah tamu undangan lain. Maulid yang ditutup makan bersama, dirangkai ceramah agama dan dalail khairat.
Proses perayaan Maulid juga dilaksanakan dengan "dalail khairat," yang berupa pujian yang diungkapkan dalam syair hikayat. Ini diucapkan dengan indah, menciptakan suasana syahdu yang menggugah rasa cinta kepada Nabi. Dalam pujian ini terdapat nilai keikhlasan dan pengorbanan baik dalam hal waktu dan tenaga serta mengorbankan harta.
Maulid di Aceh dilaksanakan selama tiga bulan sepuluh hari dan dibagi menjadi maulid awal, maulid tuengoh (tengah) dan maulid akhir. Dimulai Rabiul Awal yang disebut buleuen molod (maulid awal), Rabiul Akhir yang disebut buleuen adoe molod (maulid pertengahan), dan Jumadil Awal yang disebut buleun molod seuneulheuh (maulid akhir).
Melansir dinasdayahaceh.acehprov.go.id, tradisi maulid Nabi di Aceh sudah ada sejak era Sultan Ali Mughayat Syah, pendiri Kerajaan Aceh. Dalam surat wasiat Sultan Ali Mughayat Syah yang diterbitkan pada 12 Rabiul Awal 913 Hijriah atau 23 Juli 1507, disebutkan bahwa pelaksanaan maulid Nabi dapat menyambung tali silaturahmi antarkampung di Kerajaan Aceh Darussalam. Namun, tidak diketahui apakah tradisi maulid Nabi saat itu sama seperti kenduri maulid di Aceh saat ini.
Mengutip NU Online, ketua LPT PWNU Aceh, Tgk Muhammad Yasir, mengatakan bahwa perayaan maulid Nabi selama tiga bulan dimulai ketika Kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636). "Menurut Husaini Ibrahim, seorang sejarawan, meyakini perayaan tradisi Maulid tiga bulan sudah dilakukan sejak masa Kerajaan Aceh dipimpin Sultan Iskandar Muda. Pada waktu itu, kerajaan sangat makmur dan perkembangan Islam maju pesat. Ulama-ulama menganjurkan peringatan Maulid sampai tiga bulan sebagai wujud kecintaan pada Rasulullah dan bentuk syiar Islam,’’ terang Yasir seperti dikutip Kompas.com dari NU Online, Kamis (12/9/2024). Perayaan maulid Nabi selama tiga bulan sudah menjadi tradisi turun temurun dalam masyarakat Aceh, yang masih dilakukan hingga kini.
Pada masa kesultanan Aceh, Maulid awal digelar ditingkat gampong atau meunasah dan tatanan paling rendah, maulid tuengoh dilaksanakan pada tingkat kemukiman atau di masjid-masjid besar, sedangkan maulid akhir digelar oleh para raja-raja dan ulee balang kemudian mengundang seluruh masyarakat. “Kenapa dilaksanakan tiga bulan, karena terkadang mempersiapkan maulid tergantung panen ikan di laut, di ladang serta tergantung panen di sawah. Jika dilaksanakan serentak maka tidak ada pengikat tali persaudaraan,” ucap cek midi.
Pentingnya tradisi Maulid ini tidak hanya terletak pada aspek spiritual, tetapi juga pada dampak sosialnya. Selama perayaan, masyarakat dari gampong A dan B saling berkunjung, menghapuskan perbedaan dan membangun kembali persaudaraan. Dalam konteks ini, maulid bukan hanya sebuah ritual, tetapi juga sarana penyatuan masyarakat. Selain nilai-nilai spiritual, maulid di Aceh juga kaya akan tradisi kuliner. Kenduri akbar ini menghadirkan hidangan spesial, seperti kuah beulangong (kari kambing) dan bu kulah (nasi terbungkus daun pisang) yang disiapkan dengan penuh perhatian.
Dalam tradisi Aceh Besar, dalam bulan maulid dikampung pada tanggal yang telah disepakati bersama-sama, masyarakat akan membawa hidangan ke Meunasah untuk dimakan bersama undangan dari kampung tetangga. Hidangan yang dibawa ke maunasah berupa makanan khas yang ditempatkan dalam wadah khusus berbentuk tudung atau silinder yang dibungkus kain berwarna kuning keemasan, hijau, dan merah tua, sebagai warna khas Aceh.
Hidangan di dalam wadah khusus tersebut disusun rapi dan berlapis. Berikut ini beberapa menu khas kenduri maulid di Aceh. Bu kulah, nasi yang dimasak dengan paduan rempah-rempah dan dibungkus daun pisang berbentuk kerucut. Kuah pacri, yang terbuat dari buah nanas yang dimasak dengan kuah encer berbumbu rempah-rempah, cabai merah, dan daun pandan. Bulukat, nasi ketan yang diberi kelapa dan dibungkus daun pisang berbentuk limas. Gulai ayam Gulai kambing Gulai ikan Telur bebek Sayur nangka Buah-buahan Hidangan itulah yang akan dikumpulkan di meunasah, untuk dibuka dan disantap oleh masyarakat yang menghadiri, dan terkadang bersama anak yatim. Sebelum menyantap hidangan maulid, masyarakat menggelar zikir, doa bersama, salawat, dan ceramah maulid.
Makanan yang disajikan tidak hanya mengedepankan cita rasa, tetapi juga memperhatikan aspek kehalalan dan gizi, mencerminkan kebersihan serta keamanan makanan. Menu yang disajikan pun disiapkan dengan hidangan berlapis. Biasanya pada lapisan pertama dihidang buah-buahan, lapis kedua cemilan dan lapis ketiga ialah makanan spesial khas Aceh. Dengan berbagai potensi yang dimiliki, perayaan maulid di Aceh berpeluang untuk dijadikan destinasi wisata. Pemerintah dapat memprogramkan tradisi ini sebagai daya tarik ekonomi, sekaligus melestarikan nilai-nilai sosial budaya yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.[]
Rs / Edt. Ais