Abdya - Di balik deretan pohon kelapa sawit yang kian menjalar ke tiap sudut lahan tidur di Kabupaten Aceh Barat Daya (Abdya), suara cangkul yang menghantam tanah masih terdengar lirih. Para petani pedesaan tetap bertahan, meski musim tak menentu dan irigasi belum sepenuhnya menjangkau sawah mereka.
Dalam lanskap agraria yang penuh tantangan ini, arah dan harapan baru muncul dari pucuk pimpinan daerah.
Bupati Abdya, Dr. Safaruddin, dalam sebuah wawancara dengan media besar di Jakarta mengusung visi pembangunan yang berpijak pada tiga sektor utama, pertanian, kelautan, dan kepemudaan.
Di mata para petani, arah baru ini bukan sekadar program, melainkan taruhan akan masa depan pangan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Dukungan dan Doa dari Sawah
Para petani menyambut gagasan ini dengan antusias. Mereka berharap, julukan “Tanoh Breuh Sigupai” bukan hanya legenda, tapi terwujud sebagai identitas nyata Abdya sebagai sentral pertanian Aceh yang tangguh dan berdaulat.
“Alhamdulillah, ini program sangat bagus. Kami petani sangat mendukung program mulia ini, karena menyangkut kebutuhan orang banyak yang setiap waktu butuh makan,” ujar Rustam, petani dari Kecamatan Tangan-Tangan.
Namun tantangan besar membayangi. Irigasi yang belum memadai dan ketergantungan pada hujan membuat musim tanam menjadi resiko tinggi, apalagi di tengah ketidakpastian iklim yang kian tak ramah. Karena sebagian besar lahan sawah di Abdya masih bergantung pada tadah hujan.
Kepala Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Abdya, Hendri Yadi, mengungkapkan bahwa luas lahan sawah di daerah itu lebih dari 8 ribu hektar, dan sekitar 70 persen telah terlayani irigasi, sementara sisanya 30 persen lagi masih mengandalkan tadah hujan sebagai sumber air utama.
Ketimpangan dalam akses irigasi menjadi tantangan nyata bagi petani di wilayah yang belum tersentuh jaringan air teknis. Mereka harus berjibaku menghadapi musim kering dan ketidakpastian cuaca, yang kerap mengancam produktivitas dan keberlanjutan usaha tani.
Dalam konteks ini, wacana Bupati Abdya Dr Safaruddin untuk memajukan sektor pertanian terasa sangat relevan dan mendesak, sebagai upaya mendorong pemerataan akses dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Langkah Nyata di Tahun 2025
Sebagai bentuk konkret dari arah pembangunan sektor pertanian, Bupati Abdya Dr. Safaruddin dikabarkan berhasil menurunkan belasan miliar rupiah dana APBN di tahun 2025 untuk membangun jaringan irigasi sayap kanan.
Langkah ini menjadi titik awal kepala daerah dalam upaya memperkecil dominasi lahan sawah tadah hujan yang selama ini menjadi tantangan utama petani.
Dengan adanya irigasi teknis baru ini, diharapkan produktivitas petani meningkat, risiko gagal panen menurun, dan pengelolaan air menjadi lebih terkendali di tengah perubahan iklim yang kian ekstrem.
Di Balik Alsintan Beban yang Tak Terlihat
Gagasan penguatan sektor pertanian membuka pula suara-suara kritis. Salah satu sorotan datang dari praktik distribusi alat mesin pertanian (alsintan) yang selama ini menjadi beban petani.
Para petani mengeluhkan kenaikan biaya operasional panen yang melonjak dari yang seharusnya Rp 30 ribu menjadi Rp 40 ribu per karung isi 100 kilogram, saat musim panen tiba.
Selain itu, keterlibatan sebahagian besar keujruen blang sebagai lembaga adat sawah dalam proses persetujuan penggunaan alsintan di wilayah sawah mereka dinilai menyulitkan akses teknologi bagi petani.
“Kalau tak lewat keujruen blang, alsintan tak boleh masuk sawah, walau pemiliknya warga lokal. Jadi, ini harus dihilangkan agar kedepan tidak menjadi tradisi yang membebankan petani,” keluh Yusuf, seorang petani lainnya.
Alih-alih memberi kemudahan, sistem yang ada justru kerap menjadi hambatan bagi petani untuk mengakses teknologi pertanian secara efisien. Tak jarang, di lapangan muncul keluhan soal kenaikan biaya panen yang dilakukan oleh oknum agen. Kenaikan ini disinyalir sebagai cara untuk menarik keuntungan pribadi yang pada akhirnya menambah beban petani saat musim panen tiba.
Ketika Sawah Menyusut, Pangan Terancam
Ancaman paling nyata datang dari penyusutan lahan pertanian akibat alih fungsi. Lahan tidur yang dulunya bisa diolah kini berubah menjadi pemukiman dan kebun kelapa sawit.
“Ke depan mungkin uang banyak, tapi untuk beli beras malah langka dan sulit. Lahan tidur semua sudah berubah jadi kebun sawit, lahan sawah menyempit,” ungkap petani itu lagi.
Fenomena ini tak hanya menimbulkan kegelisahan lokal, tapi juga pertanyaan besar tentang keberlanjutan ketahanan pangan Abdya sebagai wilayah agraris.
Harapan dan Arah Strategis
Tokoh masyarakat Abdya, Nafis A. Manaf, memberi apresiasi terhadap kebijakan Bupati Safaruddin yang berpihak pada ekonomi rakyat. Namun menurutnya, visi besar tersebut harus diiringi strategi teknis yang terukur.
Ia menegaskan perlunya Blueprint Pertanian Abdya dan dokumen strategis yang memuat data luas lahan, kebutuhan pupuk, benih unggul, dan distribusi alsintan setiap kecamatan.
Ia juga mengusulkan sejumlah langkah strategis yang perlu diterapkan Pemerintah Kabupaten, antara lain intensifikasi indeks pertanaman (IP) dari 200 menjadi 300 untuk meningkatkan frekuensi panen, diversifikasi tanaman seperti palawija guna mengurangi ketergantungan pada padi, serta optimalisasi sistem irigasi yang menjadi kewenangan daerah.
Kemudian, penguatan kelembagaan kelompok tani juga dinilai penting untuk mendukung keserentakan tanam. Selain itu, ia mendorong penyerapan gabah oleh koperasi Merah Putih dengan harga sesuai HET, serta pembukaan lahan baru, termasuk pemanfaatan eks-HGU dan lahan terlantar sebagai potensi perluasan wilayah pertanian.
Baginya, langkah-langkah ini bukan hanya solusi teknis, tapi pondasi bagi ekonomi rakyat yang tangguh menghadapi zaman.
Menyatukan Petani, Laut, dan Pemuda
Tak berhenti di sektor pertanian, Bupati Safaruddin juga menyasar sektor kelautan dan pemuda sebagai bagian tak terpisahkan dalam pembangunan holistik.
Program Kampung Nelayan Merah Putih serta keterlibatan pemuda dalam pertanian modern menjadi wajah baru Abdya, wilayah yang memberdayakan generasi muda sebagai aktor, bukan penonton pembangunan.
Sinergi Regulasi dan Teknologi
Ahli pertanian, Ir. Muslim Hasan, menilai bahwa ketahanan pangan tak cukup hanya berpijak pada niat baik pemerintah. Ia menyoroti Qanun Lahan Pangan Pertanian Berkelanjutan (LP2B) sebagai instrumen penting yang perlu ditegakkan secara efektif.
“Pemerintah perlu mengefektifkan Qanun ini dengan regulasi, seperti izin mendirikan bangunan, agar setiap pemanfaatan lahan tercatat sesuai peruntukannya,” ujarnya.
Ia juga menekankan perlunya tiga pendekatan utama untuk memperkuat sektor pertanian. Pertama, peningkatan intensitas tanam hingga tiga kali dalam setahun guna mengoptimalkan produktivitas lahan yang terbatas.
Kedua, mekanisasi pertanian secara menyeluruh dari hulu hingga hilir, agar efisiensi dan kualitas hasil panen lebih terjamin. Ketiga, ia mendorong sinergi antara regulasi, teknologi, dan tata kelola lahan sebagai kerangka kerja yang mampu menjawab tantangan riil di tingkat petani.
Menurut mantan Kadis Pertanian Abdya itu, pendekatan ini menjawab tantangan nyata petani di lapangan dan membawa pertanian Abdya lebih dekat pada kedaulatan pangan yang inklusif dan berkelanjutan.( ditulis Oleh Suprian.MS, Wartawan Antara Abdya)