Zakat Fitrah dalam Qanun Aceh

Editor: Syarkawi author photo

 

Oleh: Prof Dr Al Yasa’ Abubakar MA (Ketua Dewan Pertimbangan Syariah Baitul Mal Aceh)

Meuligoeaceh.com - Dalam tulisan sebelum ini sudah dijelaskan bahwa ketentuan tentang penunaian zakat fitrah yang ditulis dalam kitab fiqih dan diajarkan para ulama adalah hasil ijtihad atas hadis-hadis dan ayat Al-Qur’an, bukan lagi isi hadis dan ayat menurut apa adanya tanpa diijtihadkan.

Dalam kesempatan ini, penulis akan menguraikan pendapat ulama tentang pembayaran zakat fitrah yang lebih lapang dan lebih memberi maslahat pada masa sekarang dan ketentuan Qanun Aceh tentang zakat fitrah.

Yusuf al-Qaradhawi (Fiqh-uz Zakat) setelah mengutip hadis-hadis dan mendiskusikan pendapat ulama, menarik kesimpulan yang sebagiannya penulis kutip sebagai berikut.

(a).Masalah zakat fitrah merupakan masalah ijtihadiah, karena sebagian Sahabat memberi izin membayar zakat fitrah dengan jenis makanan yang lebih sedikit takarannya dari yang ditentukan dalam hadis.

(b).Dalam sebuah hadis ada pernyataan, “Kayakanlah mereka ….

” Dari hadis ini dipahami bahwa mengayakan seorang miskin, dapat dilakukan dengan memberikan uang sebagaimana dengan makanan.

Bahkan memberikan uang kepada mereka sebagai ganti makanan akan lebih lapang, karena kalau diberi makanan dalam jumlah banyak, maka sebagiannya akan mereka jual dengan harga yang kuat dugaan lebih murah dari harga jual pedagang.

(c).Membayar zakat fitrah dengan uang, bukanlah masalah yang betul-betul baru, karena Khalifah Umar bin Abdul Aziz pernah memberi izin bahkan menyuruh gubernurnya (Kuffah) untuk memungut zakat fitrah dalam bentuk uang, dengan jumlah setengah dirham untuk satu orang.

Dari kalangan ulama, Abu Hanifah dan ats-Tsauri mengizinkan pembayaran zakat fitrah dengan uang seharga makanan pokok yang dijadikan zakat.

Untuk Aceh, zakat fitrah diatur dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2018 tentang Baitul Mal.

Dalam Pasal 98 ayat (2) disebutkan, zakat fitrah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan zakat yang wajib dibayar oleh setiap pribadi muslim atau orang tua/wali dalam bentuk makanan pokok atau uang seharga makanan pokok dalam bulan Ramadhan sampai sebelum pelaksanaan Shalat Idul Fitri setiap tahun.

Dari ketentuan ini, maka kebolehan membayar zakat fitrah dengan uang seharga makanan pokok di daerah Aceh bukanlah masalah yang perlu dipolemikkan lagi.

Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota mesti mendukung dan menjalankan isi qanun ini.

Mereka tidak boleh membuat kebijakan yang berbeda, karena aparat pemerintah bertugas dan bertanggung jawab untuk menjalankan qanun.

Kalau ada Pejabat yang membuat kebijakan tidak sejalan dengan ketentuan qanun, maka mereka akan dianggap melanggar qanun dan itu tentu tidak elok.

Panitia (amil) hendaknya memberikan kesempatan kepada kelompok dan anggota masyarakat untuk membayar zakat fitrah dengan beras atau dengan uang.

Selanjutnya sebagai bagian dari tugas menjalankan qanun, pejabat yang berwenang di kabupaten/kota, menurut penulis mesti menetapkan besaran uang yang sesuai dengan harga beras dari berbagai kualitas yang ada di pasaran.

Muzakki dipersilakan memilih harga sesuai dengan beras yang mereka konsumsi.

Kalau mereka mengkonsumsi beras dengan kualitas yang lebih baik tentu mesti membayar dengan harga yang biasanya lebih mahal.

Kita berharap para muzakki yang membayar zakat fitrah dengan uang akan jujur dalam memilih harga beras sesuai dengan yang mereka konsumsi, karena membayar zakat fitrah secara ikhlas adalah bagian dari kesempurnaan ibadah puasa.

Menurut penulis akan sangat baik sekiranya kita berikan kesempatan kepada masyarakat untuk beribadah sesuai dengan pemahaman dan keyakinannya, selama hal itu sejalan dan tidak menyalahi Al-Qur’an dan hadis.

wallahu a’lam bish-shawab.[]

Artikel ini telah tayang di SerambiNews.com 

Share:
Komentar

Berita Terkini