Madeung

Editor: Syarkawi author photo


Ma blien merupakan bidan berpengalaman yang disiapkan untuk mengurus kelahiran bayi dalam sebuah keluarga. Ia bertanggung jawab terhadap kesehatan bayi dan ibu yang baru melahirkan selama proses madeueng, terutama menjaga makanan dan minuman selama 44 hari berpantang.

Madeung merupakan upaya pemulihan terhadap perempuan yang baru melahirkan. Ia akan berdiam diri di rumah, semua kebutuhannya dijaga oleh Ma Blien, bidan khusus yang disiapkan keluarga untuk merawat sang ibu yang baru melahirkan.

Dalam adat Aceh, penentuan siapa Ma Blien yang akan dipakai untuk mengurus kehamilan seorang ibu, itu sudah ditentukan atau dimusyawarkan jauh-jauh hari antara kedua keluarga, keluarga pihak istri dan keluarga pihak suami. Momentum untuk membahas ini bisanya dipakai saat keluarga suami mengnatar bu kulah pada saat usia kehamilan sudah memasuki tujuh bulan.

Orang tua pihak laki-kali sangat berperan dalam hal ini. Ia akan mengupayakan Ma Blien terbaik untuk mengurus menantunya. Ia akan encari bidan berpengalaman dan membicarakan semacam perjanjian terkait biaya-biaya dan keperluan lainnya, termasuk soal gaji kepada sang bidan.

Setelah perjanjian dibuat, Ma Blien akan datang secara berkala untuk merawat ibu hamil, menjaga kesehatannya dan kesehatan janin yang dikandung sang ibu. Berbagai upaya dilakukan sesuai keahliannya untuk mempersiapkan proses kelahiran yang baik dan lancar. Semua biaya yang diperlukan untuk keperluan bersalin bagi anak pertama ditanggung oleh orangtua sihamil sendiri, sedangkan pihak ibu mertuanya memberikan sumbangan-sumbangan berupa uang, ikan, serta kebutuhan-kebutuhan lainnya.

Pada hari bersalin seluruh sanak keluarga dan jiran datang berkumpul dan bersama-sama membantu segala pekerjaan di tengah-tengah suasana yang sedang sibuk itu. Mereka ada yang mengerjakan pekerjaan dapur, menyiapkan ruangan tempat bersalin, menyiapkan ruangan tamu, menghiburi wanita yang akan melahirkan.

Setelah bayi lahir, ia diletakkan dalam suatu wadah yang bersih dan telah disiapkan sejak lama, lazimnya untuk ini dipergunakan upih pinang (situek) yang tepilih. Berbarrngan dengan merawat ibunya, bayi dibersihkan oleh bidan kemudian diletakkan di suatu tempat yang terlindung, biasanya di atas ranjang (peuratah) tidak di samping ibunya. Pusat bayi dikerat dengan sepotong buluh tipis yang terah diraut, kemudian dibalut dengan kain bersih (geudong) dan diantarkan kepada ayahnya yang sedang menanti di bilik (juree).

Azan dan Bulukat Kuneng

Setelah menyambut bayinya dalam pangkuan, ayah mengangkat bayinya dan membacakan azan setentang telinga, sebagai simbolik menyambut kelahiran seorang Muslim: bila lahir disambut azan, jika mati dilepaskan shalat. Ibu mertua yang datang menjenguk menantu dan cucunya pada hari itu membawa ketan kuning (bu lukat kuneng) dengan serba kelengkapannya untuk menyuntingi (peusunteng) dan menepung-tawari menantunya.

Pada upacara tersebut iapun memberikan pula uang hadiah kepada menantu yang masih terbaring. Lazimnya ia diserta oleh beberapa orang sanak keluarga dan menginap sehari dua untuk turut merawat menantu dan cucunya.

Selama 44 hari lamanya wanita bersalin tidur dan bangun di tempat tidurnya.  Dilarang berdiri dan berjalan, disuguhkan nasi putih dan ikan kayu kering, dan minumnya sangat dibatasi. Pantang 44 hari (madeueng) tersebut dimaksudkan supaya kesehatannya segera pulih kembali dan bahagian dari tubuhnya yang sakit dan telah mengendor ketika melahirkan bayi dapat pulih dengan segera.

Secara teratur kepadanya diberikan obat bersalin baik yang digosokkan pada badan dan bagian-bagian tertentu maupun obat minum yang terdiri dari dedaunan dan buah-buahan yang telah dilarutkan (diaduk).

Peucicap dan Peunan

Pada hari ketujuh setelah bayi lahir diadakan upacara cukur rambut dan mencicip bibir bayi dengan zat manis (peucicap), dan adakalanya sekaligus dengan memberikan nama (peunan). Upacara cukur rambut biasanya dilakukan oleh bidan ataupun salah seorang tua yang telah lazim mengerjakan pekerjaaan tersebut, sedangkan upacara mencicip bibir bayi dipimpin oleh seorang wanita alim dan terkemuka.

Ibu mertua datang ke tempat tersebut bersama-sama keluarganya, dengan alat-alat kelengkapan untuk keperluan upacara cukur rambut dan mencicip bibir bayi, berikut telur ayam mentah, madu lebah (ie unoe), buah korma dan jenis makanan-makanan lain yang berzat manis.

Upacara tersebut diiringi kenduri menurut kemampuan dengan mengundang sanak keluarga, para jiran, rekan sahabat dan orang-orang terkemuka. Di tengah-tengah ruang upacara diletakkan sebuah dulang (dalong) bertutup tudung saji (sange) yang didalamnya berisi ketan kuning (bu leukat kuneng) dan penganan lainnya seperti ikan kayu (keumamah) yang telah dimasak menjadi gulai atau adonan tepung (tumpoe) ataupun masakan daging.

Setelah kenduri, para undangan pulang ke tempat masing-masing, tinggallah hanya sanak keluarga, jiran dan pemuka-pemuka kampung (Keuchik, Teungku). Sementara bayi yang telah selesai bercukur rambut telah ditidurkan di atas kasur kecil yang bertutup hiasan kain warna-warni. Lalu dibawa ke suatu bilik di mana orang alim terkemuka (teungku meunasah) telah menantinya.

Teungku membuka dulang dan mengambil secercah kayu cendana yang telah digosok halus dengan air (keuleumbak), sekuntum bunga bertih (keumeue) dan beberapa jenis sari manis buah-buahan, kemudian menyapukannya pada bibir bayi sambil mengucapkan “Bismillahirrahmanirrahim”. Upacara serupa disusul oleh para sanak keluarga yang hadir. Maksud mencicip bibir bayi itu agar bila dewasa kelak, tutur katanya selalu manis, budinya baik dan digemari didalam pergaulan.

Upacara tersebut dilanjutkan dengan acara menimang dan membolak-balik hati ayam yang telah dimasak (balek ate manok). Dengan tangannya, penyelenggara upacara menimang-nimang dan membolak-balik hati ayam dekat tubuh bayi, maksudnya supaya pada masa ia dewasa nanti senantiasa memiliki dan berpendirian timbang rasa terhadap sesuatu masalah yang dihadapinya.

Setelah itu dilakukan acara belah kelapa (proh u), yakni sebuah kelapa yang telah tersedia dibelah dengan parang tajam tepat di atas kepala bayi dan beralas sehelai kain putih. Acara tersebut supaya sang bayi pada usia dewasanya kelak senantiasa mampu memecahkan setiap masalah dan sanggup mengatasi aneka kesulitan yang dihadapinya.

Pada hari itu juga ibu mertua membawa kasur, bantal, kain (ija tumpee) dan sebuah buaian yang talinya telah dibungkus dengan kain berwarna cerah, semuanya untuk keperluan cucunya. Kepada menantunya ia memberikan uang sembahan (seuneumah), yang diikuti dengan tindakan yang sama oleh sanak keluarga dan wanita-wanita lain yang hadir. Tamu pria membawa hadiah berupa tembakau, sirih, buah-buahan dan ikan yang disebut barang-barang pasar (barang peukan), gunanya sebagi pengikat tali persaudaraan dan guna meringankan beban biaya dari pihak keluarga tersebut.

Manoe Peut Ploh Peut

Untuk kepentingan kesejahteraan ibu dan bayi maka selama 44 hari lamanya mereka harus mematuhi pantangan-pantangan yang telah ditentukan. Siibu harus tetap berada dibilik tidurnya, tidak dibenarkan berjalan-jalan apalagi keluar rumah, sedangkan bayi terus dipingit berdampingan dengan ibunya.

Selama 44 hari pula terus menerus dihidupkan api diang (madeueng) di bawah ataupun disisi pembaringannya, sehingga tubuh siibu selalu mendapat udara panas untuk memulihkan kembali bahagian-bahagian tubuhnya sehingga segar bugar.

Selama madeueng, siibu diberikan sedikit air tebu dan nenas secara teratur, maksudnya untuk membersihkan kotoran–kotoran yang mungkin masih melekat di dalam perut dan kandungannya, juga nasi putih tanpa kuah di dalam mangkok (cawan) dan tidak ada lauk-pauk. Obat bersalin diberikan secara tetap sampai sehat seperti sediakala.  Pada hari yang ke-45 barulah ia terlepas dari ranjau pantangan yang mengelilinginya.

Tepat pada hari ke-44 diadakan upacara mandi menyucikan badan bagi siibu yang bersalin, cara-caranya sesuai dengan ajaran Agama Islam, dan disebut mandi hari ke-44 (manoe peut ploh peut).

Pada hari tersebut sanak keluarga dan jiran berkumpul beramai-ramai turut membantu dalam penyelenggaraan kenduri yang diadakan. Ibu mertua yang datang bersama-sama sanak keluarganya untuk menepung tawari (peusijuk) menantunya yang telah mengeluarkan darah dari tubuhnya (ro darah) membawa bahan-bahan yang diperlukan seperti ketan kuning, ayam panggang beras padi bercampur beras kunyit, paenganan, daun sidingin (on sisijuek) segengam rumput padi (naleueng sambo), sejenis dedaunan (on manek-manoe) dan tepung tawar (teupong tabeue).

Setelah upacara mandi dan menepung tawari selesai, mertua mempersembahkan kepada menantunya sesalin pakaian dan sesalin pakaian pula untuk bisannya sebagai hibah atas segala jerih selama ia merawat menantu dan cucunya.

Pada hari ibunya selesai menempu masa pantangan 44 hari, sibayi untuk pertama kali dibawa turun tanah. Ia digendong oleh bidan dan selangkah demi selangkah secara perlahan menuruni anak-tangga hingga sampai berpijak tanah.  Untuk sejenak lamanya kaki bayi dijejakkan di atas tanah, kemudian diadakan pertunjukan ketangkasan mencencang oleh ahli-ahli yang terkenal mengitari bayi. Hal ini dimaksudkan supaya bayi memiliki semangat satria dan lincah di dalam hidupnya kelak.

Setelah pertunjukan keahlian mencencang selesai, bayi digendong oleh bidan dibawa kembali ke atas rumah. Setibanya diambang pintu tangga bidan mengucapkan “Assalamu’alaikum” yang disahut beramai-ramai “Alaikum salam” oleh orang-orang di atas rumah.

Setiap saat jika bayi dinina bobokkan, baik di dalam pangkuan ataupun di dalam buaian, ibunya dengan suara merdu dan lagu-lagu yang mengasyikkan menyanyikan sajak-sajak untuk anaknya.

Pada umumnya, wanita-wanita Aceh menidurkan anaknya dengan nina bobok berupa kisah-kisah perjuangan, syair agama dan sajak-sajak yang menggelorakan semangat. Dalam masa masih bayi di dalam buaian jiwanya sudah ditempa dengan lagu-lagu perjuangan dan dipupuk dengan kisah-kisah ajaran agama (rateb doda idi) dengan harapan bila ia dewasa akan menjadi orang-orang yang berani dan satria dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap Agama.[]

iskan Norman

Share:
Komentar

Berita Terkini