Banda Aceh – Dentingan musik tradisional dari berbagai daerah berpadu di Taman Sari Banda Aceh, Jumat (24/10/2025) sore.
Suasana taman kota itu berubah semarak oleh gelaran Pergelaran Musik Etnis Paguyuban, yang digagas untuk menyambut peringatan Hari Sumpah Pemuda pada 28 Oktober mendatang.
Kegiatan yang mengusung semangat kolaborasi dan toleransi ini dibuka oleh Staf Ahli Wali Kota Banda Aceh Bidang Keistimewaan, Kemasyarakatan, dan SDM, Ridwan, mewakili Wali Kota Banda Aceh.
Acara turut dihadiri para asisten, kepala OPD, camat, pimpinan BUMN dan BUMD, serta perwakilan berbagai paguyuban seperti Sunda, Ikatan Keluarga Minang (IKM), Gayo, Hakka, dan SLB Bukesra.
Para pegiat budaya, seniman, dan jurnalis juga ikut memeriahkan acara tersebut.
Ketua Panitia, Iskandar, S.Sos., M.Si., menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang mendukung terselenggaranya kegiatan tersebut.
Dukungan datang dari Pemerintah Kota Banda Aceh, PLN, Perumda Tirta Daroy, Kubah, Qupro Indonesia, ICMI, BSI, BPRS Mahira Muamalah, BPRS Hikmah Wakilah, serta sejumlah hotel dan pelaku usaha lokal.
“Acara ini merupakan bentuk kolaborasi dan kepedulian bersama dalam membangun Banda Aceh. Seperti pepatah mengatakan, di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung,” ujar Iskandar dalam sambutannya.
Lebih dari sekadar hiburan, pergelaran ini menjadi ruang ekspresi bagi para seniman lintas etnis dan budaya.
Penampilan anak-anak penyandang disabilitas dari SLB Bukesra turut menjadi sorotan, menunjukkan bahwa seni bisa menjadi wadah inklusif bagi semua kalangan.
“Kami ingin menegaskan bahwa anak-anak disabilitas juga memiliki talenta luar biasa dan berhak diperlakukan sama dengan anak-anak lainnya,” kata Iskandar.
Ia menambahkan, kegiatan ini diharapkan mampu menumbuhkan rasa nasionalisme, mempererat silaturahmi, serta menggerakkan ekonomi pelaku UMKM di sekitar lokasi acara.
“Selain memberi ruang bagi seniman untuk tampil di ruang publik, kegiatan ini juga menjadi stimulus bagi geliat ekonomi masyarakat,” ujarnya.
Iskandar juga mengingatkan agar setiap kegiatan seni di Banda Aceh tetap memperhatikan kearifan lokal dan selaras dengan nilai-nilai syariat Islam.
“Dalam acara ini berpartisipasi berbagai paguyuban, termasuk dari kalangan non-Muslim. Kami berharap masyarakat Banda Aceh dapat memaknai perbedaan ini sebagai bagian dari semangat kolaborasi dan toleransi yang telah lama menjadi karakter kota ini,” tuturnya.
Acara ditutup dengan ajakan untuk menjadikan musik sebagai bahasa universal yang mempersatukan perbedaan, memperkuat semangat kebangsaan, dan meneguhkan komitmen menjaga kerukunan di Tanah Serambi Mekkah.[]
