Melihat Tambang Aceh dengan Bijak: Pilar Ekonomi, Inovasi, Lingkungan & Prioritas Berkelanjutan 2

Editor: Syarkawi author photo


Meuligoeaceh.com - ACEH kaya akan sumber daya alam seperti batubara, emas, bijih besi, batu kapur, dan lainnya. Namun isu utama sering teralihkan oleh kekhawatiran yang kurang mendesak, yang terkadang tidak dilihat dengan bijak. Masalah yang lebih krusial adalah pertambangan ilegal yang merusak lingkungan dan ancaman transisi energi saat batubara habis. Untuk solusi efektif, penting memprioritaskan masalah yang nyata dan berdampak besar.

Pencemaran Batubara dari Operasi Pertambangan: Apakah Benar Terjadi?

Pada Juli 2023, insiden tumpahan batubara di Pantai Peunaga Pasie, Aceh Barat, menimbulkan kekhawatiran pencemaran laut.

Namun, kajian menyatakan batubara yang tumpah bukan dari tambang lokal dan tumpahan dapat diatasi dengan cepat. Menurut Ahrens dan Morrissey (2005), batubara hanya berdampak buruk pada ekosistem laut jika dalam jumlah besar, yang tidak terjadi dalam kasus ini.

Meski begitu, menurut Zhang (2023), dampak batubara yang lebih signifikan justru berasal dari pembangkit listriknya, di mana proses pembakaran batubara menghasilkan 947,40 gram emisi gas CO2 eq, jauh lebih besar dari penambangannya (19,27 gram CO2 eq).

Dalam konteks global, ini cukup mengkhawatirkan, terutama dalam isu perubahan iklim. Meski ada potensi pengasaman tanah dan air dari sulfur oleh batubara, batubara Aceh sendiri mengandung sulfur rendah (~0,3 persen) (Firdaus, 2022). Alhasil, risiko kerusakan biota laut dari konteks pengasaman ini sangat kecil.

Menilik lebih lanjut, tambang batubara di Aceh berlokasi di pedalaman, dengan jarak aman operasi yang jauh dari pemukiman.

Ukuran batubara hasil peremukan (crushing) yang besar (50 mm hingga 200 mm) dan kandungan air tinggi (45 % , kelas sub bituminus) membuatnya tidak mudah terbawa angin, kecuali sangat halus dan kering (Firdaus, 2022; Putra & Rosalinda, 2020). 

Selain itu, menurut data Badan Meteorologi, Klimatologi, & Geofisika dari 2013-2022, curah hujan di Aceh Barat juga cukup tinggi, mencapai 152,87 mm per tahun (Fianda, 2023). Hal ini kemudian jauh mengurangi potensi timbulan debu. Dengan analisis sederhana tersebut, hampir tidak mungkin batubara dari operasi penambangan mencapai rumah penduduk.
 
Studi debu jalan tambang PT Bara Energi Lestari oleh Ramadhan (2023) juga menunjukkan kadar debu siang dan malam hari (4,5 dan 16,5 µg/m3 untuk PM2,5 dan PM10) jauh di bawah batas baku mutu Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia (RI) Nomor 22 tahun 2021 dan Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU).

Hasil studi tersebut bahkan menunjukkan hasil yang lebih baik dari hasil Baristand Banda Aceh pada 1 Desember 2022, yang juga masih di bawah ambang batas (13,7 dan 27,23 µg/m3 untuk PM2,5 dan PM10).

Selain itu, penyiraman rutin dengan water truck (2 – 3 kali/jam) juga dilakukan untuk menjaga jarak pandang aman bagi pengemudi hauling truck (Ramadhan, 2023).  
 
Keseluruhan data tersebut telah menunjukkan bahwa batubara Aceh tidak berkontribusi signifikan terhadap debu di pemukiman.

Oleh karena itu, penelitian yang lebih komprehensif dari hulu hingga hilir sangat diperlukan untuk memahami dampaknya (bukan tidak mungkin hingga ke aspek sosial dan kesehatan), karena sejatinya rantai industri tambang tidak serta merta hanya proses penambangan saja.

Pertambangan Ilegal Komoditas Mineral: Sebuah Dilema
 
Pertambangan ilegal di Aceh, terutama komoditas mineral, menggunakan bahan kimia berbahaya seperti merkuri dan sianida, malah cenderung merusak lingkungan dan mengancam kesehatan.

Penelitian Aflah dkk. (2023) menemukan 13 dari 20 sampel air di wilayah tambang ilegal di Aceh mengandung merkuri melebihi batas aman sesuai standar Kementerian Kesehatan RI. Merkuri, yang sulit terurai, dapat menyebabkan dampak jangka panjang, terutama bagi anak-anak.
 
Oleh karena itu, fokus seharusnya diarahkan pada bahaya pertambangan ilegal, bukan pada isu pertambangan batubara yang lebih minimal dampaknya dalam konteks lokal.

Selain kerusakan lingkungan, pertambangan ilegal menimbulkan masalah sosial karena banyak masyarakat pedalaman bergantung pada tambang, sebuah kompleksitas lainnya.

Seperti di banyak negara berkembang, masyarakat tidak punya pilihan selain bekerja di tambang tradisional tersebut meskipun berisiko tinggi. Selain itu, pertambangan dengan tipikal tradisional hingga skala kecil-menengah ini cenderung sulit ditelusuri besar kontribusinya ke daerah, di mana alamnya rusak, namun kontribusinya minim.
 
Solusi berkelanjutan dari studi kasus di Afrika, Amerika Selatan, dan Asia, seperti teknologi penambangan ramah lingkungan dan murah, terbukti membantu masyarakat tetap memperoleh penghasilan tanpa merusak lingkungan. Studi Aslam, Orcon, dan Klein (2022) menunjukkan bahwa sistem pengolahan mineral yang efisien dapat diterapkan di Aceh dengan kolaborasi berbagai pihak untuk menciptakan solusi yang menguntungkan semua.

Transisi Energi dan Masa Depan Pertambangan di Aceh
 
Aceh kini juga menghadapi tantangan besar dalam transisi energi global, seiring upaya beralih dari energi fosil ke energi terbarukan seperti angin, surya, dan panas bumi. Meski transisi ini bisa mengurangi dampak lingkungan, daerah seperti Aceh yang bergantung pada batubara akan sangat terdampak di semua lini kehidupan.

Dengan 50 % energi Aceh berasal dari batubara, pemanfaatan energi terbarukan di hampir semua daerah di Indonesia kurang dari 5 % , dan hanya Jakarta dan Yogyakarta yang siap jika energi terbarukan diterapkan, tantangan ini menjadi sangat nyata.
 
Transisi energi ini juga membutuhkan infrastruktur dan tenaga kerja yang siap. Ketika batubara habis, pekerja di sektor ini perlu di-upskill dan di-reskill agar bisa beralih ke sektor energi terbarukan.

Potensi Aceh dalam energi terbarukan, seperti geotermal (1,09 GW menurut Outlook Energi 2023 oleh Dewan Energi Nasional), sangatlah besar.

Namun, Aceh memerlukan investasi besar, termasuk dalam pelatihan, teknologi, dan kebijakan yang mendukung. Dengan pendekatan yang tepat, Aceh bisa tetap menjadi bagian penting dari perekonomian nasional bahkan dalam era transisi energi ini. Jika tidak, mungkin saja kutukan sumber daya (resource curse) akan terjadi lagi di Aceh. Hasil bumi habis, namun masyarakatnya tidak maju.

Aceh sebagai Contoh Keseimbangan Ekonomi dan Lingkungan
 
Melihat berbagai tantangan yang ada, solusi yang perlu diambil harus terfokus pada dua hal: pengelolaan pertambangan yang lebih baik dan persiapan menghadapi transisi energi.

Langkah-langkah yang bisa diambil antara lain: (1) terus menyediakan teknologi penambangan yang lebih ramah lingkungan, (2) meningkatkan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya merkuri dan bahan kimia lainnya, (3) menciptakan lapangan kerja alternatif di sektor energi terbarukan, (4) terus memperbaiki dan menyempurnakan regulasi, dan (5) memperkuat pengawasan terhadap operasi tambang secara keseluruhan.

Aceh memiliki potensi besar dalam menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi melalui pertambangan berkelanjutan. Dengan kebijakan yang baik dan kerja sama trans sektor, Aceh bisa berkembang tanpa mengorbankan lingkungan.

Hal ini membutuhkan kesungguhan, sebagaimana Rasulullah saw. bersabda dalam riwayat Tabrani, "Sesungguhnya Allah Swt. mencintai apabila seseorang melakukan suatu pekerjaan, ia melakukannya dengan itqan (tepat dan bersungguh-sungguh).”

Hal tersebut tentunya dengan tanpa prasangka buruk dan terus tabayyun seperti perintah Allah Swt. dalam Surat Al Hujurat ayat 6 “Wahai orang-orang yang beriman, jika seseorang yang fasik datang kepadamu membawa suatu berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.”

*) Penulis adalah dosen Program Studi Teknik Pertambangan USK  dan Industri-Academia Liaison di PERHAPI Aceh.

Email: izzanaslam@usk.ac.id

 

Sumber: SerambiNews.com

Share:
Komentar

Berita Terkini