Banda Aceh - Peringatan 20 tahun tragedi tsunami Aceh menjadi momentum penting untuk memperkenalkan istilah “smong” sebagai pengganti “tsunami.” Upaya ini tidak hanya bertujuan melestarikan kearifan lokal Simeulue, tetapi juga mengenang tragedi besar yang membawa pelajaran berharga bagi dunia.
Ketua Yayasan Khadam Indonesia, Muhammad Ikbal, menyampaikan hal ini dalam Festival Smong yang berlangsung di Museum Tsunami pada 21-22 Desember 2024.
“Smong, yang dalam bahasa lokal Simeulue berarti tsunami, bukan sekadar kata, melainkan simbol kebijaksanaan leluhur. Kisah smong telah menyelamatkan ribuan jiwa dari bencana tsunami 2004. Berkat petuah nenek moyang, masyarakat Simeulue mampu bertahan dari amukan bencana alam,” ujar Ikbal.
Ia menambahkan, momentum 20 tahun ini menjadi waktu yang tepat untuk mengusulkan penggantian istilah “tsunami” dengan “smong” baik di tingkat lokal maupun global. Hal ini tidak hanya memperkenalkan nilai-nilai budaya Simeulue, tetapi juga menunjukkan bagaimana kearifan lokal memiliki peran penting dalam mitigasi bencana.
Festival Smong memadukan unsur edukasi dan seni dengan berbagai kegiatan seperti pemutaran dan diskusi film, kompetisi drama, cipta puisi, serta melukis “nuga-nuga.” Kegiatan ini melibatkan 810 partisipan yang terdiri dari pelajar se-Aceh dan mahasiswa, menjadikan generasi muda sebagai garda depan pelestarian budaya.
Acara ini juga didukung oleh kolaborasi berbagai pihak, termasuk Kemdikbud, Danaindonesia, LPDP, Universitas Bina Bangsa Getsampena (UBBG), PT Pema, USAID, dan Aceh Documentary. Dukungan luas ini mencerminkan semangat bersama untuk menjadikan nilai-nilai lokal Simeulue sebagai warisan budaya yang berdampak global.
Festival Smong mengajak masyarakat untuk tidak hanya mengenang, tetapi juga memahami pentingnya kearifan lokal sebagai kekuatan dalam menghadapi bencana, sekaligus memperkuat identitas budaya dalam konteks modern.[]