Laskar Panglima Nanggroe Tanggapi Pembangunan Batalyon: Aceh Bukan Wilayah Darurat Militer

Editor: Syarkawi author photo

 


Banda Aceh – Ketua DPA Laskar Panglima Nanggroe, Sulaiman Manaf, merespons pernyataan Panglima Kodam Iskandar Muda (Pangdam IM) Mayor Jenderal TNI Niko Fahrizal yang pada Jumat (25/4/2025) menerima para pelaksana pembangunan Batalyon Teritorial Pembangunan (YTP) di Balee Sanggamara, Makodam IM. 

Pertemuan itu membahas rencana pembangunan empat YTP di Pidie, Nagan Raya, Aceh Tengah, dan Aceh Singkil.

Pangdam menyebut pembangunan YTP sebagai langkah strategis memperkuat sistem pertahanan dan mendekatkan TNI dengan masyarakat. 

“Keberadaan satuan teritorial baru diharapkan berkontribusi positif bagi stabilitas keamanan dan pembangunan daerah,” kata Mayjen Niko.

Namun, pernyataan itu mendapat sorotan kritis dari Ketua Laskar Panglima Nanggroe, Sulaiman Manaf. 

Ia mempertanyakan urgensi pembangunan empat batalyon baru di Aceh yang justru menimbulkan kekhawatiran akan kembalinya pendekatan keamanan dalam pembangunan.

“Pertanyaannya sederhana, apakah Aceh darurat militer hingga perlu diperkuat empat batalyon teritorial sekaligus? Apa dasar analisis strategisnya? Atau ini bagian dari pendekatan lama yang kita sepakati sudah harus ditinggalkan?” ujar Sulaiman dalam keterangan, Sabtu (03/05/2025).

Sulaiman juga menyinggung pola pembangunan yang tampak senyap dari ruang dialog publik. 

“Kenapa Pidie, Nagan, Aceh Tengah dan Aceh Singkil? Apakah karena faktor geografis, politis, atau potensi konflik masa depan? Publik berhak tahu,” katanya.

Ia menegaskan bahwa Aceh bukan sekadar wilayah administratif di bawah NKRI, tetapi daerah yang punya kekhususan dan sejarah panjang relasi sipil-militer yang sensitif. 

“Jangan ulangi trauma. Jangan ada pembangunan militer tanpa transparansi dan persetujuan sosial,” tegasnya.

Proyek pembangunan YTP diketahui dikerjakan oleh PT Andalan Mitra Wahana, mitra resmi Kementerian Pertahanan. 

Sulaiman menilai, penunjukan tersebut perlu tunduk pada prinsip tata kelola yang akuntabel dan terbuka.

“Siapa yang menentukan? Apa mekanisme pengadaannya? Bagaimana status tanahnya? Apakah ada analisis dampak lingkungan? Ini bukan proyek kecil, ini soal kedaulatan ruang hidup rakyat,” katanya.

Merujuk UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, Sulaiman mengingatkan bahwa fungsi pertahanan nasional mesti berjalan seiring dengan demokrasi dan peran masyarakat. 

“Kita bukan menolak TNI, kita menolak pendekatan diam-diam yang rawan disalahgunakan,” ujarnya.

Sebagai Ketua Laskar Panglima Nanggroe—organisasi sipil yang turut menjaga perdamaian Aceh—Sulaiman meminta Kementerian Pertahanan dan Kodam IM segera menggelar dialog terbuka dengan masyarakat sipil, tokoh adat, ulama, dan akademisi.

“Jika tujuannya untuk rakyat, maka libatkan rakyat sejak awal. Jangan jadikan Aceh sebagai pangkalan eksperimental. Kami tidak anti pembangunan, kami hanya anti trauma yang dibungkus rapi,” pungkasnya.[Rilis]

Share:
Komentar

Berita Terkini