Penulis : Sari
Mahasiswa Magister Manajemen USK
Meuligoeaceh.com - Media sosial kini bukan sekadar ruang berbagi informasi, tetapi telah menjadi medan tempur opini.
Dalam beberapa waktu terakhir, publik Aceh kembali diramaikan oleh narasi provokatif yang menyerang sistem perbankan syariah—seperti tuduhan “Syariah Palsu = Riba Berkedok Agama” atau seruan “Kembalikan Bank Konvensional ke Aceh.”
Sekilas, kalimat tersebut terlihat seperti kritik. Namun jika ditelaah lebih jauh, sebagian besar hanyalah propaganda yang tidak berdasar ilmu, tidak merujuk pada otoritas fatwa, dan tidak menawarkan solusi. Ia lebih banyak memercikkan emosi daripada menyajikan argumentasi.
Padahal, ekonomi syariah tidak hadir sekadar mengganti label “konvensional” menjadi “islami.”
Ia dirancang untuk menghadirkan keadilan dalam transaksi, menguatkan nilai kemanusiaan dalam sistem keuangan, dan menghapus praktik riba serta eksploitasi.
Kritik tentu sah dan bahkan diperlukan, namun hanya memiliki nilai jika disampaikan dengan data, pengetahuan, dan solusi. Tanpa itu, ia hanya menjadi fitnah yang menyesatkan umat.
Memahami Esensi Akad Syariah
Tuduhan bahwa “bank syariah sama saja dengan bank konvensional” umumnya muncul karena ketidaktahuan terhadap konsep akad yang menjadi fondasi setiap transaksi dalam sistem syariah.
Perbedaannya tidak terletak pada nama, tetapi pada substansi hukum dan tujuan transaksinya.
- Dalam bank konvensional, uang diposisikan sebagai komoditas yang dijual dengan bunga.
- Dalam bank syariah, uang hanya alat tukar; keuntungan diperoleh melalui transaksi nyata—jual beli, sewa, atau kerja sama usaha.
Ekonomi syariah beroperasi melalui akad-akad yang sah secara fikih seperti murabahah (jual beli), mudharabah (bagi hasil), musyarakah (kerja sama modal), dan ijarah (sewa).
Margin keuntungan dalam murabahah bukan bunga, melainkan laba atas transaksi riil.
Kesamaan bentuk—misalnya sama-sama menggunakan cicilan—tidak berarti kesamaan hukum.
Seperti daging ayam halal dan bangkai yang secara fisik tampak serupa, namun nilai hukumnya sangat berbeda.
Literasi Akad: Senjata Melawan Propaganda
Serangan terhadap ekonomi syariah menunjukkan bahwa literasi keuangan syariah masyarakat masih rendah. Syariah tidak bisa dibela dengan amarah; ia harus dibela dengan ilmu.
Tuduhan keliru seperti menyamakan cicilan tetap pada murabahah dengan bunga pinjaman lahir dari ketidaktahuan.
Dalam hukum Islam, harga jual yang disepakati di awal adalah sah dan tidak termasuk riba.
Karena itu, literasi akad harus diperkuat. Edukasi publik dari kampus hingga gampong diperlukan agar masyarakat tidak mudah terseret opini yang menyesatkan.
Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan:
- Menggencarkan edukasi melalui media sosial, seminar, dan kurikulum pendidikan.
- Memperkuat kolaborasi antara ulama, akademisi, dan praktisi industri keuangan.
- Menggerakkan komunitas melalui program Gampong Sadar Syariah dan Bebas Riba.
Kritik Boleh, Fitnah Tidak
Kritik terhadap praktik perbankan syariah harus disambut sebagai bagian dari perbaikan.
Ada hal-hal yang memang perlu dibenahi: transparansi akad, pelayanan nasabah, dan efisiensi operasional.
Namun fitnah seperti “syariah menipu rakyat” bukan kritik; itu agitasi yang membahayakan.
Kritik sejati lahir dari data, bukan dari kebencian. Ia mengajak berdialog, bukan memprovokasi. Jika ada kekeliruan, yang dikoreksi adalah pelaksana praktiknya, bukan syariatnya.
Menyerang sistem syariah tanpa dasar berarti menghambat upaya membangun ekonomi yang bermartabat dan sesuai nilai agama.
Ekonomi Syariah: Sistem Global yang Teruji
Ekonomi syariah bukanlah “proyek lokal Aceh.” Ia adalah bagian dari sistem keuangan global yang terus berkembang.
Negara-negara non-muslim seperti Inggris, Jepang, dan Korea Selatan pun membuka layanan keuangan syariah karena menilai stabilitas dan nilai keadilannya.
Menurut Global Islamic Finance Report (GIFR) 2024, industri keuangan syariah dunia telah mencapai nilai lebih dari US$ 3,5 triliun—tumbuh lebih cepat dibanding sistem konvensional.
Bahkan IMF dan Bank Dunia turut mengakui kontribusinya dalam menciptakan stabilitas finansial.
Jika negara maju mempercayai sistem ini, mengapa Aceh—yang memiliki landasan hukum syariah—justru meragukannya?
Jalan Panjang menuju Ekonomi Bermartabat
Penerapan Qanun Lembaga Keuangan Syariah (LKS) No. 11 Tahun 2018 adalah langkah besar dan berani.
Qanun ini bukan paksaan, melainkan bentuk komitmen Aceh terhadap nilai-nilai Islam dalam tata kelola ekonomi.
Syariat bukan sekadar pilihan, tetapi arah peradaban.
Mundur dari syariah hanya karena tekanan opini media sosial sama saja dengan menukar nilai dengan sensasi.
Karena itu, kita harus memperkuat literasi, melawan disinformasi, dan membangun sistem ekonomi syariah yang berlandaskan ilmu dan integritas.
Ekonomi syariah bukan proyek politik, tetapi gerakan moral menuju masyarakat yang bebas riba dan penuh keberkahan.
Syariah: Fondasi Peradaban, Bukan Sekadar Label
Syariah bukan label yang ditempel di depan nama bank. Ia adalah sistem peradaban yang menegakkan keadilan, transparansi, dan keberkahan.
Menyerang syariah sama dengan merendahkan pilihan peradaban umat Islam.
Perbedaan pendapat boleh saja, tetapi jangan sampai berubah menjadi fitnah yang merusak kepercayaan publik.
Maju Tanpa Mundur: Mengawal Syariah dengan Ilmu
Aceh dan daerah lain yang telah memilih jalur keuangan syariah harus terus melangkah maju.
Kritik yang ilmiah dan jujur tentu dibutuhkan, tetapi propaganda gelap yang menyamakan syariah dengan riba harus dijawab dengan ilmu, bukan dengan teriakan.
Syariah adalah jalan lurus — ia tidak mengenal putar balik. Sekali dipilih, tugas kita adalah menjaganya tetap lurus, kuat, dan bermartabat.
“Syariah tidak tumbang oleh kebisingan propaganda, karena ia berdiri di atas ilmu, keyakinan, dan kesadaran umat yang menjaganya dengan martabat.”[]
