Banda Aceh — Penasehat Khusus Gubernur Aceh Bidang Investasi sekaligus Ketua KPA Luwa Nanggroe, Teuku Emi Syamsyumi atau Abu Salam, melayangkan ultimatum keras kepada perusahaan sawit dan tambang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.
Ia menilai banjir bandang besar yang melanda Aceh bukan semata akibat cuaca ekstrem, melainkan hasil akumulasi kerusakan ekologis oleh industri ekstraktif.
“Sudah terlalu lama perusahaan besar berlindung di balik izin dan laporan CSR yang tidak pernah menyentuh rakyat. Hari ini rakyat tenggelam, dan kami tahu siapa yang menebang hutan, membuka kanal gambut, serta membelokkan sungai demi keuntungan,” ujarnya, Senin, 8 Desember 2025.
Abu Salam menyebut sejumlah perusahaan yang dianggap berkontribusi pada kerusakan lingkungan dalam tiga wilayah utama.
Di Aceh Singkil, ia menyoroti PT Delima Makmur, PT Global Sawit Semesta, PT Nafasindo, PT Rundeng Putra Persada, serta PT Socfin Indonesia (Lae Butar) yang dinilai memperluas konsesi hingga menekan kawasan gambut Tripa.
Di Nagan Raya dan Aceh Barat, ia menyebut PT Fajar Baizury, PT Kalista Alam, PT Surya Panen Subur I & II, dan PT Agro Sinergi Nusantara sebagai pihak yang mengubah bentang alam dan memicu kerusakan DAS.
Di Aceh Tamiang, kawasan dengan dampak banjir paling parah, ia menyoroti PT Bumi Flora, PT Padang Palma Permai (Minamas Plantation), PT PP London Sumatera, PT Socfin Indonesia (Sei Liput), dan PT Sisirau.
“Ketika ratusan ribu hektare hutan berubah menjadi blok monokultur, banjir bukan kejadian alam. Ia adalah konsekuensi bisnis yang tidak etis,” katanya.
Ia juga menyinggung keberadaan sekitar 450 titik tambang ilegal dan lebih dari seribu ekskavator yang beroperasi tanpa kendali di berbagai daerah, mulai dari Aceh Selatan hingga Gayo Lues. Aktivitas itu, menurutnya, memicu sedimentasi ekstrem sungai.
Tambang legal seperti PT Mifa Bersaudara, PT Prima Bara Mahadana, PT Mega Multi Cemerlang, dan PT Universal Pratama Sejahtera turut disebut harus bertanggung jawab.
“Memiliki izin bukan berarti bebas dari tanggung jawab. Izin bukan sertifikat bebas dosa,” ujarnya.
Abu Salam juga menyoroti perusahaan di Sumatera Utara dan Sumatera Barat, termasuk PTPN III & IV, tambang emas Martabe (PT Agincourt Resources), dan PT Dairi Prima Mineral. Di Sumatera Barat, ia menyinggung PT Sumber Andalas Kencana dan PT Sumatera Jaya Agro Lestari.
“CSR tidak boleh berhenti pada seminar dan baliho. Hari ini rakyat membutuhkan makanan, obat-obatan, perahu, hingga selimut. Perusahaan harus hadir,” ujarnya.
Ia meminta Gubernur Aceh, Muzakir Manaf (Mualem), mengambil langkah tegas, termasuk pencabutan izin perusahaan bermasalah dan penindakan terhadap perusahaan berstatus PROPER Merah.
“Banjir ini adalah ujian kepemimpinan. Jika Mualem ingin memulihkan marwah Aceh, langkah pertama adalah menertibkan perusahaan yang hanya mengeruk tanpa mengabdi,” katanya.
Sehari setelah banjir, 29 November 2025, KPA Luwa Nanggroe mengirim bantuan darurat dari Jakarta berupa lima ton beras, satu ton minyak makan, seribu dus mi instan, serta ratusan paket pembalut dan popok.
“Kami bergerak sebelum negara sempat menoleh. Tapi kerusakan sebesar ini tidak bisa ditanggung rakyat sendirian. Giliran perusahaan menunjukkan apakah mereka punya hati atau tidak,” kata Abu Salam.
Ia menutup pernyataan dengan peringatan keras. “Jika mereka tetap diam, rakyat akan ingat. Sejarah tidak pernah memaafkan mereka yang hadir saat panen, tapi pergi ketika bencana datang.”[]
