Suara Darurat dari Bener Meriah–Aceh Tengah: Isa Alima Desak Negara Hadir Cepat dan Menyeluruh

Editor: Syarkawi author photo

 


Aceh Tengah — Dari kawasan pegunungan Aceh yang kini terisolasi akibat banjir dan longsor, sebuah jeritan warga menggetarkan nurani publik: “Jangan membunuh masyarakat Aceh sesama Aceh.” 

Pesan tersebut, yang datang dari Simpang Balek, Kecamatan Weh Pesam, menjadi simbol kegelisahan dan keputusasaan warga yang hingga hari ini belum menerima bantuan secara merata, Sabtu, 6 Desember 2025.

Pemerhati publik Drs. Isa Alima menanggapi pesan itu dengan mendesak negara hadir lebih nyata dan lebih cepat. 

Ia mengungkapkan bahwa laporan yang masuk dari sejumlah titik di Bener Meriah dan Aceh Tengah menunjukkan lambatnya penanganan, ketidakseimbangan distribusi bantuan, serta melonjaknya harga kebutuhan pokok yang menambah beban masyarakat korban bencana.

“Kita mengapresiasi kerja keras para relawan, masyarakat sipil, dan semua pihak yang berjuang di lapangan. Namun dalam situasi seperti ini, negara tidak boleh absen. Kehadiran negara harus terlihat dalam tindakan, bukan hanya imbauan,” tegas Isa Alima.

Di beberapa kampung pedalaman, warga benar-benar terjebak. Longsor memutus jalan, jembatan tersapu banjir, dan akses keluar-masuk kecamatan hilang sama sekali. Listrik padam, jaringan telekomunikasi terputus, dan logistik menipis.

“Gas tidak ada. Lampu mati terus. Internet hilang. Telepon mati. Makanan habis. Air minum pun sekarang sekarat,” demikian laporan warga setempat.

Anak-anak mulai kekurangan makanan. Beras habis. Air bersih semakin langka. Di sisi lain, petani—penopang ekonomi daerah—juga terpukul: kebun rusak, sawah tersapu, panen lenyap.

Sementara itu, meski suara pesawat bantuan terdengar di langit Bener Meriah, warga yang terisolir mengaku belum pernah menerima satu pun distribusi logistik. 

Bantuan hanya turun di beberapa titik, sedangkan wilayah terputus belum tersentuh.

Isa Alima menegaskan bahwa penanganan bencana harus menyentuh seluruh korban, tanpa terkecuali.

“Bantuan harus sampai ke setiap warga terdampak. Jangan sampai ada yang merasa diabaikan. Jangan ada ruang yang menjadi sunyi dan terlupakan,” ujarnya.

Ia juga menyoroti krisis kebutuhan pokok yang terjadi di Bener Meriah dan Aceh Tengah. Minimarket dan grosir menjadi satu-satunya tempat masyarakat bertahan, namun stok tidak bisa diperbarui karena jalur distribusi lumpuh total.

Isa mendesak pemerintah segera melakukan operasi pasar dan menghentikan praktik spekulan yang memanfaatkan situasi.

“Rakyat sudah menderita. Jangan biarkan harga-harga yang naik tak terkendali menambah luka mereka,” tegasnya.

Warga mengirimkan pesan terbuka kepada Presiden, pemerintah pusat, dan pejabat daerah Aceh Tengah:

“Kami sangat membutuhkan bantuan—apa pun bentuknya, terutama makanan anak-anak dan bahan pokok.”

Isa Alima meminta pemerintah membuka jalur darurat, memastikan dropping udara tepat sasaran, dan mengoptimalkan semua instrumen negara untuk menjangkau lokasi terisolir sebelum situasi makin kritis.

Di akhir pernyataannya, Isa mengajak seluruh elemen masyarakat Aceh dan Indonesia untuk saling membantu dan menjaga solidaritas.

“Mari kita tunjukkan bahwa Aceh bangsa yang kuat. Kita bangkit karena kita saling menolong,” ujarnya.

Kini, suara dari tengah gunung telah dikirimkan ke dunia luar — membawa satu pesan sederhana namun mengguncang:
Ada ribuan nyawa menunggu pintu bantuan dibuka.

Dan dalam jeritan itu, tertanam peringatan yang menggugah hati:

“Jangan membunuh masyarakat Aceh sesama Aceh.”

Sebuah seruan. Sebuah luka. Dan sebuah ajakan untuk tidak menutup mata terhadap saudara sendiri. []

Share:
Komentar

Berita Terkini