33 Anak Aceh Diperkosa dan 69 Alami Pelecehan Seksual Sepanjang 2020 Meuligoe Aceh.com

Editor: Fadhila author photo

Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh masih terus terjadi, bahkan di tengah pandemi virus Corona. Bahkan ada pelaku yang merupakan orang-orang terdekat di sekitarnya.

“Sepanjang 2020, ada 200 kasus kekerasan terhadap anak dan 179 kasus kekerasan terhadap perempuan di Aceh, itu yang tercatat,” kata Riswati, Direktur LSM Flower Aceh, Kamis (9/7/2020).

Mengutip data yang disampaikan Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Aceh, kata Riswati, ada 3 bentuk kekerasan tertinggi yang dialami anak, yaitu berupa pelecehan seksual sebanyak 69 kasus, pemerkosaan 33 kasus, dan kekerasan psikis sebanyak 58 kasus.


Sementara kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk pelecehan seksual tercatat 17 kasus, perkosaan sebanyak 9 kasus, KDRT 112 kasus, kekerasan psikis 90 kasus, kekerasan fisik 55 kasus. “Selebihnya dalam bentuk penelantaran ekonomi dan lain-lain,” papar Riswati.

Total kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh sepanjang tahun 2020 atau sampai Juni, adalah 379 kasus. Data kekerasan yang tercatat sebelumnya, tahun 2019 sebanyak 1.044 kasus, tahun 2018 sebanyak 1.376 kasus dan tahun 2017 tercatat sebanyak 1.802 kasus.


Sementara itu Direktur LBH Apik Aceh, Roslina Rasyid, mengatakan data tersebut tak berbeda dengan yang dihimpun oleh pihaknya. Sepanjang Januari - Juni 2020, lembaga tersebut mendampingi 30 kasus Kekerasan Seksual di 4 Kabupaten/Kota di Aceh. “Rata-rata korban berusia 3 sampai 16 tahun, sebanyak 70 persen dari kasus tersebut, pelakunya adalah orang terdekat,” katanya.

Roslina mengakui ada sejumlah kendala dalam menangani pemulihan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak di Aceh. Salah satunya, terkait dualisme kebijakan dalam penanganan. Aturan yang digunakan untuk menangani kasus kekerasan seksual pada anak, khususnya yang berumur 14 tahun ke atas, masih ada yang menggunakan Qanun Jinayah, yang menghukum pelaku dengan cambuk, bukan hukuman penjara.

Dampak kebijakan dinilai merugikan korban, karena pelaku selesai dicambuk bisa lepas dan kembali ke komunitasnya, serta bisa bertemu lagi dengan korban yang masih trauma akibat tindak kekerasan yang dialaminya. “Kondisi ini sangat menyakiti hati korban dan keluarganya, korban semakin trauma dan sulit terpulihkan,” jelasnya.


Merujuk pada sejumlah kenyataan tersebut, sejumlah elemen sipil di Aceh meminta kepada DPR RI untuk memasukkan kembali RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Diketahui, RUU tersebut telah dicoret dari Prolegnas 2020 pada Kamis (2/7) lalu.

Mantan Ketua Komnas Perempuan (2015-2019), Azriana, dalam sebuah diskusi virtual yang difasilitasi Flower Aceh pada Senin (6/7) lalu, menegaskan pentingnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk segera disahkan. “RUU ini sangat dibutuhkan untuk mengatasi kasus kekerasan seksual yang terus terjadi,” katanya.

Menurutnya, RUU tersebut ini dapat mengatasi keterbatasan sistem hukum yang ada dalam mengenali kekerasan seksual. Karena bentuk kekerasan yang diatur dalam produk hukum selama ini sangat terbatas dengan definisi yang sempit, dan sistem pembuktian yang menyulitkan korban. Selain itu, hak korban hanya diakui jika kasus masuk dalam proses peradilan.

Kata Azriana, sebagai pengingat bersama, kekerasan seksual dapat menimbulkan dampak fisik, psikis, kesehatan, sosial, pendidikan, ekonomi, dan politik bagi korban seketika dan jangka panjang. “Dampaknya akan dialami juga oleh keluarga dan komunitasnya. RUU ini memiliki 6 elemen kunci untuk penghapusan kekerasan seksual, mulai dari pencegahan, hukum acara, tindak pidana kekerasan seksual, pemidanaan, pemulihan, dan pemantauan,” tegasnya. Kumparan.com
Share:
Komentar

Berita Terkini