BANDA ACEH — Kerusakan hutan Aceh yang terus meluas mendapat sorotan dari Laskar Panglima Nanggroe (LPN).
Organisasi masyarakat ini menuding Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh gagal menjalankan fungsi utama sebagai pengawas dan pelindung kawasan hutan, sehingga tambang dan perkebunan sawit terus menggerus benteng ekologis Aceh.
Secara normatif, DLHK memiliki mandat strategis: menjaga kawasan hutan, mengawasi pemanfaatan sumber daya alam, menindak pelanggaran kehutanan, dan memastikan kelestarian lingkungan hidup.
Dinas ini didukung ribuan aparat teknis, mulai dari penyuluh kehutanan, penjaga hutan, hingga Polisi Kehutanan (Polhut) yang memiliki kewenangan pengawasan dan penegakan hukum.
Namun, menurut Ketua LPN, Sulaiman Manaf, kondisi faktual hutan Aceh menunjukkan sebaliknya. Tutupan hutan terus menyusut, kawasan lindung berubah menjadi tambang terbuka dan kebun sawit, sementara bencana seperti banjir bandang dan longsor terus mengancam permukiman warga.
“DLHK terkesan tertutup dan kinerjanya tidak transparan. Padahal hutan Aceh adalah milik rakyat,” ujar Sulaiman, Kamis (25/12/2025).
Ia menegaskan kerusakan hutan selalu berdampak pada masyarakat. Kawasan hulu yang rusak membuat air tidak tertahan, sehingga banjir dan longsor menjadi tak terelakkan.
Menurutnya, kerugian akibat bencana ekologis jauh lebih besar dibanding keuntungan dari sektor sawit dan tambang.
LPN mendesak Gubernur Aceh melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap pejabat DLHK Aceh maupun kabupaten/kota.
Mereka menilai kerusakan hutan skala luas mustahil terjadi tanpa pembiaran, dan menuntut agar aparat penegak hukum (APH) menindak dugaan pelanggaran hingga ke ranah pidana bila ditemukan kelalaian atau kongkalikong.
Selain itu, LPN menekankan APH dan Polhut harus proaktif dalam mengusut kejahatan kehutanan. “Aparat tidak boleh pasif. Kalau terus diam, publik bisa menilai aparat ikut bermain dalam tambang dan sawit,” kata Sulaiman.
Aceh dikenal memiliki kawasan hutan terluas di Sumatra, berperan sebagai penyangga kehidupan, pengendali banjir, dan sumber air. Rusaknya hulu sungai disebut sebagai faktor utama meningkatnya frekuensi dan daya rusak banjir bandang.
Hingga berita ini diturunkan, DLHK Aceh belum memberikan tanggapan resmi terkait tudingan LPN. Redaksi masih berupaya menghubungi pihak DLHK untuk memperoleh klarifikasi dan keberimbangan informasi.[R]
