PWRI Kecam Respons TNI terhadap Aksi Demonstrasi di Aceh Utara, Desak Pencopotan Danrem 011/Lilawangsa

Editor: Syarkawi author photo

 


Banda Aceh — Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI) mengecam keras dugaan tindakan represif aparat TNI dalam merespons aksi demonstrasi mahasiswa, pemuda, dan masyarakat di Kabupaten Aceh Utara. 

PWRI menilai tindakan tersebut berpotensi melanggar hak asasi manusia dan prinsip konstitusional kebebasan menyampaikan pendapat.

Pembina PWRI, Mahmudin atau Din Pang, mengatakan aksi demonstrasi yang dilakukan masyarakat Aceh Utara merupakan bentuk penyampaian pendapat yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. 

Aksi tersebut, kata dia, dilatarbelakangi kekecewaan publik terhadap pemerintah pusat yang hingga kini belum menetapkan status bencana nasional atas banjir besar yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat.

“Situasinya sudah darurat. Korban banjir mencapai ribuan orang, dampaknya bersifat sistemik, bahkan masih ada korban jiwa hingga hari ini. Akses terhadap layanan kesehatan, makanan, dan air bersih juga belum sepenuhnya pulih,” kata Din Pang dalam keterangan tertulis, Minggu, 28 Desember 2025.

Menurut PWRI, tuntutan masyarakat seharusnya direspons dengan pendekatan kemanusiaan dan percepatan kebijakan penanganan bencana, bukan dengan pendekatan keamanan yang bersifat represif. 

Din Pang menilai keterlibatan aparat TNI dalam penanganan aksi demonstrasi merupakan tindakan yang melampaui kewenangan.

Ia juga menyinggung aksi pengibaran bendera putih oleh masyarakat di sejumlah wilayah Aceh sebagai simbol kondisi darurat dan keputusasaan warga. Namun, kata dia, lambannya respons pemerintah membuat sebagian masyarakat kemudian mengibarkan Bendera Aceh.

“Pengibaran Bendera Aceh tidak boleh dipahami sebagai tindakan politik, melainkan sebagai ekspresi kedaruratan kemanusiaan dan upaya meminta pertolongan,” ujar Din Pang.

PWRI menuding telah terjadi pelanggaran kebebasan berekspresi dan berkumpul, termasuk dugaan kekerasan fisik terhadap demonstran. Din Pang menyebut adanya laporan pemukulan dan penendangan, bahkan penggunaan senjata laras panjang oleh oknum aparat terhadap peserta aksi.

“TNI tidak memiliki kewenangan melakukan penangkapan dalam ruang sipil. Jika benar terjadi kekerasan, ini merupakan pelanggaran hukum serius,” katanya.

PWRI juga menyoroti dugaan tindakan represif aparat gabungan TNI terhadap relawan yang hendak menyalurkan bantuan ke Aceh Tamiang. Hal tersebut dinilai mencerminkan arogansi kekuasaan dan berpotensi menghambat distribusi bantuan kemanusiaan.

Atas peristiwa tersebut, PWRI mendesak Panglima TNI dan Presiden Prabowo Subianto untuk mengambil langkah tegas. PWRI menuntut penyelidikan independen dan transparan dengan melibatkan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Selain itu, PWRI secara tegas meminta pencopotan Komandan Korem 011/Lilawangsa Kolonel Infanteri Ali Imran, serta mendesak negara menghentikan pendekatan militeristik dalam merespons aksi damai masyarakat sipil, khususnya di tengah situasi bencana.

PWRI juga meminta pemerintah menjamin keamanan para relawan dan membuka akses seluas-luasnya bagi bantuan kemanusiaan, termasuk dari pihak internasional, demi keselamatan warga terdampak.

“Perdamaian Aceh pasca perjanjian Helsinki 2005 harus dijaga bersama. Penanganan bencana dan aspirasi publik tidak boleh menjadi sumber luka sosial baru,” kata Din Pang.[]

Share:
Komentar

Berita Terkini