Misteri Keturunan Ulee Balang Di Puncak Monas yang di singkirkan Pemerintah Indonesia

Editor: Syarkawi author photo


Banda Aceh –  Sang Budayawan Barlian AW, tahun 2013, menulis sebuah puisi judulnya: "Monas" (buat Syauki Markam). Sebagai seniman dan sastrawan, Barlian AW sering mengikuti seminar seni budaya baik tingkat daerah, nasional, maupun internasional. Barlian AW selain menulis puisi-puisi dan prosa juga membuat karya kreatif berupa semacam essai pendek yang berturut-turut dimuat di ruang “Tingkap” pada Serambi Indonesia, Banda Aceh. Salah satu diantaranya berjudul “Al Hallaj“.

Di samping sebagai penulis kreatif, pria sederhana yang tangannya tidak pernah lepas dari rokok ini, pernah tercatat sebagai wakil pimpinan redaksi Serambi Indonesia, selain itu juga aktif di berbagai organisasi, antara lain; wakil ketua KNPI Aceh, wakil ketua Forum Karang Taruna Aceh, wakil ketua Dewan Kesenian Aceh dan Kepala Biro di DPD Golkar Tingkat I Aceh. Sajak-sajaknya dimuat dalam buku L.K. Ara dkk (ed), Seulawah: Antologi Sastra Aceh Sekilas Pintas (1995). Nama Barlian AW tercatat sebagai seorang sastrawan dalam Buku Pintar Sastra Indonesia (2001).

Budayawan Barlian AW memulai lirik puisinya begini: "Monas yang berdiri tegak di tengah Jakarta, adikku adalah Monas yang di pundaknya menggendong 28 kilogram emas sumbangan anak desa**

Ikon Jakarta itu dengan setia memancarkan cahaya, memberi tahu kepada seluruh maya Ikhwal Indonesia yang kaya raya. Kilauannya menyilaukan mata, sinarnya menanarkan hatiku menjadi lara.

Aku ingat ayahmu, adikku, aku ingat ayahmu!

Teuku Markam*** yang mempersunting Cut Aminah, anak Uleebalang Van Blang Pha di tahun sembilan belas lima puluh dua.

Dialah yang membeli emas itu, lalu menyerahkan kepada penghulu sang pimpinan besar revolusi, yg punya puluhan bintang di dada, Sukarno namanya..."

*adikku adalah sebutan sang penyair untuk anak Teuku Markam, namanya Teuku Syauki Markam.

**anak desa Teuku Markam yg lahir di sebuah desa, di Seunedon Aceh Utara.

***Teuku Markam adalah seorang putra Aceh, dan pengusaha besar di Indonesia, yang menyumbangkan 28 kilogram emas di puncak Monas pada zaman pemerintahan Presiden Sukarno.

Jadi, penggalan kutipan puisi Barlian AW di atas memberi tahu seluruh anak bangsa ini, bahwa 28 kilogram emas yang tertancap di atas puncak Monas, yang menjadi kebanggaan Jakarta (Jawa), adalah sumbangan seorang putra Aceh bernama Teuku Markam.

Yang kemudian, kabarnya sekarang emas di atas puncak Monas itu, sudah ditambah oleh pemerintah RI menjadi 32 kilogram emas. 

Pertanyaannya adalah, apakah Tugu Monas yg menjadi ikon Jakarta sebagai ibukota negara Republik Indonesia, akan turut dipindahkan Presiden Jokowi ke Ibukota Nusantara (IKN) Kalimantan Timur?

Bila Tugu Monas itu turut dipindahkan ke IKN Kalimantan--karena Jakarta tidak lagi menjadi ibukota nasional Republik Indonesia--ini berarti sejarah sumbangan 28 kilogram emas, di atas puncak Monas oleh seorang putra Aceh Teuku Markam, akan semakin tenggelam dalam sejarah bangsa ini.

Sekarang saja, sejarah asal muasal 28 kilogram emas yang tertancap di puncak Monas, tidak diajarkan pada anak didik bangsa, untuk mengetahui kenapa di puncak Monas terdapat 28 kilogram emas.

Apakah emas itu sengaja dibeli oleh Pemerintah Republik Indonesia, untuk memperlihatkan kepada dunia sebagai simbul bahwa Indonesia kaya raya. Atau emas di atas puncak Monas ini disumbangkan oleh seseorang, yang pernah menjadi orang kaya raya di Republik ini. Mestinya, anak didik bangsa ini harus tahu sejarah itu, sebagai bagian dari sejarah nasional Republik ini.

Mengutip dari "Teuku Markam: Kisah Murah Seorang Filantropi Bangsa" yang disusun oleh Hasbullah, Teuku Markam merupakan seorang keturunan ulee-balang (bangsawan) di Aceh. Ayahnya bernama Teuku Marhaban yang berasal dari Gampong Alue Campli, Kecamatan Seuneudon, Aceh Utara.

Teuku Markam yang diperkirakan lahir pada tahun 1925 harus menjadi anak yatim piatu ketika berusia sembilan tahun. Ia kemudian diasuh oleh Cut Nyak Putroe yang merupakan kakaknya. Saat memasuki usia remaja, Teuku Markam memasuki pendidikan wajib militer di Koeta Radja (Banda Aceh) Setelah berhasil lulus dengan gelar Letnan Satu, Teuku mendapatkan kesempatan untuk bergabung dengan Tentara Rakyat Indonesia (TRI).

Selama bertugas di TRI, Teuku Markam diutus oleh Kolonel Bejo ke Bandung menjadi ajudan Jenderal Gatot Subroto. Melalui Jenderal Gatot Subroto, ia mendapatkan kesempatan untuk diperkenalkan oleh Presiden Soekarno. Saat berpangkat Kapten (NRP 12276), Teuku Markam kembali ke Aceh untuk mendirikan PT Karkam. Ia akhirnya secara serius menggeluti dunia bisnis dan berhasil memperluas pasar dengan melakukan ekspor dan impor. PT Karkam berhasil menjadi pengimpor mobil Toyota Hardtop dari Jepang, besi beton, plat baja, dan senjata.

Berkat usahanya menyumbangkan 28 Kg Emas di Monas, Teuku Markam dikenal sebagai salah satu konglomerat. Bukan hanya sekedar sebagai konglomerat, ia juga dikenal akrab dengan pemerintahan Orde Lama, secara khusus dengan Presiden Soekarno.

Pada saat itu, hasil usaha yang dijalankan oleh Teuku Markam menjadi salah satu sumber APBN. Secara sukarela, ia menyumbangkan 28 kilogram emas untuk ditempatkan di puncak Monas yang menjadi impian Soekarno untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa kepada dunia internasional.

Selain itu, Teuku Markam juga menyukseskan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia Afrika di Bandung. Banyak yang belum tahu, ia memberikan sejumlah bantuan dana untuk keperluan penyelenggaraan konferensi internasional tersebut.

Di balik kesuksesan Teuku Markam, terdapat kisah suram yang dialaminya. Bermula saat runtuhnya pemerintahan Orde Lama yang digantikan dengan pemerintah Orde Baru.
Ia dituduh terlibat dalam G30S/PKI, koruptor, dan Soekarnoisme. Hal ini yang membuatnya dijebloskan ke dalam sel tanpa proses pengadilan yang berlangsung sejak tahun 1966.

Selama hukumannya, ia sempat dipindahkan penjaranya beberapa kali. Pada tahun 1972, Teuku Markam jatuh sakit dan dirawat di RSPAD Gatot Subroto selama dua tahun. Setelah dirawat selama dua tahun, ia akhirnya dibebaskan pada tahun 1974. Menariknya, ia dibebaskan begitu saja tanpa tanpa adanya kompensasi dari pemerintahan Orde Baru.

Pada 14 Agustus 1966, seluruh aset yang dimiliki Teuku Markam diambil alih oleh Soeharto selaku Ketua Presidium Kabinet Ampera. Setelahnya, aset-aset tersebut dikelola PT PP Berdikari di bawah pimpinan Suhardiman namun atas nama pemerintah Republik Indonesia. Sebelum meninggal dunia pada tahun 1985, Teuku Markam sempat mendirikan usaha baru dengan nama PT Marjaya. Usaha ini berfokus menggarap proyek-proyek dari Bank Dunia untuk pembangunan infrastruktur di Aceh dan Jawa Barat.

Namun, pemerintahan Orde Baru tidak mau meresmikan proyek-proyek raksasa yang dikerjakan oleh PT Marjaya. Hingga akhirnya Teuku Markam meninggal di Jakarta akibat komplikasi berbagai penyakit.

Dari berbagai sumber dapat disimpulkan fakta-fakta Teuku Markam antara lain:

1) Menyumbang 28 kg emas untuk monas;

2) Ikut andil dalam pembebasan lahan Senayan untuk menjadi pusat olah raga;

3) Berperan besar menyukseskan Konferensi Asia Afrika berkat bantuan sejumlah dana;

4) Saudagar terkaya Indonesia yang berasal dari Aceh pada era Soekarno;

5) Perusahaan miliknya diambil alih pemerintah Orde Baru secara tidak adil dan menjadi cikal bakal salah satu BUMN bernama PT Berdikari (Persero);

6) Dituduh sebagai antek PKI pada era Orde Baru;

7) Dipenjara dan semua hartanya disita oleh negara pada masa Orde Baru, dan

8) Nama baik Teuku Markam sampai saat ini belum dibersihkan oleh negara.

Rs / edt Ais

Share:
Komentar

Berita Terkini