
Meuligoeaceh.com - Keberadaan Gajah di kesultanan Aceh juga ditulis oleh para sejarawan barat Dr. W.A.P dalam buku Het gezantschap van den Sultan van Achin. Dalam buku ia menulis:
Slaan wij met Valentijn, een blik op het Koningkrijk van Atsjeh, gelijk hij het noemt, dan moet de Beheerscher de grootste Vorst van geheel Soematra geweest zijn, wiens titels, onder anderen, dus luidden : Een Koning, die bezit dan getanden olifant, den rooden, den gekleurden, den zwarten, den witten, den gespikkelden olifant ; een Koning wien God-almagtig schenk kleeding voor de olifanten, met goud en edelgesteenten versierd, benevens een groot aantal strijdolifanten, met ijzeren huizen op hunnen rug, wier tanden met ijzeren scheden overtrokken, en die met operen schoenen gewapen zijn.
Terjemahan :
Pandangan kami bersama dengan Tuan Valentijn, selayang pandang pada Kesultanan Aceh, sesuai dengan apa yang disebutnya, maka sebenarnyalah, bahwa yang berkuasa itu adalah Maharaja yang terbesar di seluruh Sumatera, yang gelarnya antara lain disebut: seorang raja yang mempunyai gajah yang bergading, yang berwarna, yang merah, yang hitam, yang putih dan yang belang; seorang raja yang kepadanya dikaruniai Tuhan Yang Maha Kuasa memberi pakaian gajah-gajah itu dengan perhiasan emas dan batu permata (ratna mutu manikam), juga sejumlah besar dari gajah peperangan dengan ketakencana di atas punggungnya, yang mana gading-gadingnya berbalutkan besi dan diberi bersepatu tembaga.
Dalam buku tersebut Dr W.A.P dan Valentijn dalam tinjauannya terhadap Kesultanan Aceh juga mengungkapkan bahwa Sultan Aceh mempunyai 40.000 hingga 50.000 tentara yang dapat dikerahkan ke medan perang dengan 2.000 hingga 3.000 pucuk meriam yang dapat dibawa bersama lengkap dengan mesiu dan pelurunya. Juga Sultan Aceh mempunyai 1.000 ekor gajah yang dalam dipergunakan dalam perang, dan 200 kapal perang yang telah diturunkan ke air lengkap dipersenjatai dengan meriam-meriam dan alat perang lainnya.
Kapten kapal berkebangsaan Belanda, Jhon Davis yang mengunjungi Aceh dalam tahun 1598, antara lain mencatat tentang hasil industeri perang Aceh bahwa sultan mempunyai banyak meriam, kekuatan pertahanannya juga diperkuat dengan pasukan gajah. Duta Besar Perancis Agustine Beaulieu yang mendapat mandat penuh dari rajanya untuk mengantar surat dan berunding dengan Sulthan Iskandar Muda, membuat catatan antara lain sebagai berikut:
Gajah cukup banyak. Binatang ini amat penting sekali dan dibutuhkan di peperangan. Kapal-kapal yang akan dinaikkan ke pantai untuk digalang dan disimpan, gajahlah yang menariknya. Ditaksir tidak kurang dari 900 ekor banyaknya gajah kepunyaan sultan sendiri. Semuanya tahu menjalankan tugas dalam peperangan, sudah terlatih untuk lari, untuk berbelok, untuk berhenti, duduk berlindung dan sebagainya.
Penulis Perancis Francois Martin de Vitre yang tinggal di Aceh dari 24 Juli hingga 20 November 1602 juga menulis tentang penggunaan gajah untuk eksekusi mati para pelanggar hukum berat, dengan cara diinjak atau ditarik hingga badannya hancur.
Hal yang sama juga ditulis Agustine de Beaulieu utusan Perancis yang melakukan misi dagang ke Aceh selama dua tahun (1620-1622). Pengalamannya selama perjalanan dan menetap di Aceh itu turut ditulis dalam Memories d’un voyage aux indes orientalis 1619-1622.
Panglima Pawai dan Pengiringnya
Sebuah naskah Aceh di India Library menjelaskan tentang protokoler upacara adat Kesultanan Aceh pada masa Sultanah Safiatuddin (1641 – 1675). Naskah berjudul Verhandelingen van Het Koninkelijk Instituur Voor TL en V Adat Atjeh ini merupakan catatan G.W.J. Drewes dan Voorhover yang kemudian diterjemahkan oleh Tuanku Abdul Jalil.
Pawai kesultanan biasanya dipimpin oleh seorang Panglima Pawai yang bergelar Qadli Malikul Adil. Saat pawai ia mengenakan kupiah meukutop genting meutampok, memakai ikat kepala, baju hitam katup kancing lima dari emas dengan kerah jas berkasab emas, celana panjang hitam, memakai ikat pinggang, kain sarung hingga lutut, memakai senjata siwah, serta memakai sepatu hitam.
Panglima Pawai ini didampingi oleh lima orang pengiring panglima: Orang Kaya Maharaja Sri Mangkubumi, Orang Kaya Laksamana Sri Perdana Menteri, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Bendahara, serta Orang Kaya Sri Maharaja Lela. Kelima pengiring panglima ini mengenakan pakaian terdiri dari: kupiah meukutop biasa, memakai ikat kepala, baju jas hitam kancing lima tutup leher, celana hitam panjang dengan memakai ikat pinggang dan kain sarung selutut, memakai rencong bergagang emas, dan mengenakan bersepatu hitam.
Protokoler upacara adat berserta pakaian panglima pawai dan pengiringnya ini, kemudian diadopsi dan pernah ditunjukkan dalam acara pawai budaya pada Pekan Kebudayaan Aceh (LKA) kedua, Agustus – September 1972, yang diperagakan oleh para pejabat sipil dan militer di Aceh.

Biramsattani Jadi Lambang Kodam Iskandar Muda
Biramsattani, gajah putih Kesultanan Aceh kini menjadi lambang Komando Daerah Militer (Kodam) Iskandar Muda pertama kali digunakan sebagai lambang Tentara Nasional Indonesia (TNI) di Aceh pada 1 Januari 1946. Gajah putih memiliki arti sejarah bagi angkatan perang di Aceh. Menurut Junus Djamil, gajah mengambarkan watak rakyat Aceh yang setia, patuh, serta menunjukkan sifat kekeluargaan.
Dalam sejarah kesultanan Aceh, gajah juga digunakan sebagai bagian dari pasukan perang. Sifat gajah yang tenang tetapi selalu waspada juga sesuai dengan kedisiplinan prajurit. Karena itu pula penggunaan gajah putih sebagai lambang Kodam di Aceh dengan nama Iskandar Muda saling punya keterkaitan sejarah, karena gajah putih merupakan tunggangan Sultan Iskandar Muda pada masa silam, yang dikenal sebagai gajah dengan nama Biramsattani.
Penggunaan lambang gajah putih dan nama Iskandar Muda pada Kodam di Aceh juga merupakan perwujudan dari kebesaran dan kedigdayaan angkatan perang Aceh pada masa Kesultanan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda yang mampu menaklukan hampir seluruh Sumatera dan sebagaian wilayah semenanjung Melayu di Malaysia sekarang.
Warna putih ada gambar gajah lambang Kodam Iskandar Muda juga bermakna kesucian dan kejujuran. Warna dasar hijau tua melambangkan Aceh sebagai daerah agraris yang sebagian besar rakyatnya bergantung hidup dari pertanian. Kemudian warna kuning tua pada tulisan “Iskandar Muda” melambangkan kebesaran atau kejayaan kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Perisai atau tameng yang mengelilingi lambang gajah bermakna sebagai bentuk pertahanan diri.
(Iskandar Norman,Jurnalis pemerhati sejarah, adat dan budaya / Edt Ais)