BANDA ACEH — Museum Aceh menghadirkan kembali kekayaan sejarah struktur pemerintahan adat Aceh Darussalam melalui materi pameran di Gedung Pameran Tetap lantai dua.
Visualisasi struktur pemerintahan Aceh abad ke-19 ini menjadi salah satu daya tarik yang mengajak pengunjung memahami bagaimana tata kelola tradisional Aceh membentuk fondasi sosial yang tetap relevan hingga era modern.
Struktur sosial Aceh menunjukkan kekuatan yang melekat pada masyarakat sejak masa kesultanan, ketika pemerintahan tidak hanya dipusatkan pada sultan di Kutaraja, tetapi berjalan melalui jaringan lokal yang kuat.
Sistem tiga sagoe—Sagoe XXII Mukim, XXV Mukim, dan XXVI Mukim—menjadi inti pemerintahan Aceh pada masa itu, membentuk federasi mukim yang menyatukan kepentingan politik, adat, dan keagamaan.
Panglima Sagöe memegang peran strategis sebagai pengelola keamanan, adat, dan mobilisasi masyarakat, sekaligus penghubung antara mukim dan sultan.
Di bawahnya terdapat nanggroë, wilayah semi-otonom yang dipimpin uleëbalang, serta mukim sebagai unit pemerintahan berbasis masjid dengan peran administratif dan keagamaan.
Lapisan paling dasar adalah gampông, dipimpin keuchik, yang menjadi pusat kehidupan adat dan sosial masyarakat.
Sejarawan Denys Lombard dan Anthony Reid menegaskan bahwa kekuatan struktur sagoe–mukim–gampông menjadi salah satu alasan Aceh mampu mempertahankan identitas politik dan budaya meski menghadapi kolonialisme panjang.
Ketahanan struktur adat ini bahkan membuat Belanda kesulitan menaklukkan Aceh secara menyeluruh.
Dari Masa Kolonial ke Era Modern
Saat Belanda memperkenalkan sistem administratif baru, struktur adat Aceh tidak hilang. Justru menjadi kekuatan penyeimbang sosial yang tetap berjalan di balik sistem kolonial.
Ketika Jepang masuk pada 1942, struktur kolonial di Aceh pun runtuh tanpa perlawanan berarti, menegaskan rapuhnya dominasi Belanda.
Memasuki era Republik Indonesia, struktur pemerintahan berubah ke provinsi, kabupaten, dan kecamatan.
Namun jejak sistem lama tetap terlihat. Banyak wilayah administrasi modern mengikuti pola wilayah tradisional uleëbalang. Ini menunjukkan bagaimana Aceh bergerak ke arah modernisasi tanpa meninggalkan akar sejarahnya.
Pasca damai Helsinki, pemerintah kembali mengakui mukim sebagai struktur adat yang memiliki peran dalam pemerintahan lokal Aceh.
Penguatan mukim menjadi bukti bahwa sistem sosial tradisional masih berfungsi dalam membangun harmoni, rekonsiliasi, dan partisipasi masyarakat.
Warisan Adat yang Relevan Bagi Indonesia
Pengalaman Aceh memperlihatkan bahwa keberagaman tata kelola lokal justru menjadi kekuatan dalam bingkai kebangsaan.
Seperti nagari di Minangkabau atau desa adat di Bali, Aceh tampil dengan kekhasan struktur sagoe–mukim–gampông yang terus bertahan hingga kini.
Museum Aceh menegaskan bahwa memahami struktur adat bukan hanya mengenang masa lalu, tetapi melihat bagaimana akar budaya dapat memperkuat identitas, membangun masyarakat, dan berkontribusi pada pemerintahan modern.
Pameran ini menjadi ruang edukatif bagi publik untuk melihat bagaimana Aceh menjaga akarnya sambil terus melangkah maju dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.[ADV]
