Penggunaan Dana Desa Dinilai Belum Efektif Tekan Kemiskinan, Peserta PKN II Angkatan XXIV LAN Aceh Dorong Reformasi Tata Kelola

Editor: Syarkawi author photo

 


Banda Aceh – Ketimpangan ekonomi antarwilayah yang kian melebar akibat belum optimalnya penggunaan dana desa menjadi sorotan dalam Pelatihan Kepemimpinan Nasional (PKN) Tingkat II Angkatan XXIV Tahun 2025 di Lembaga Administrasi Negara (LAN) Aceh, Kamis, 20 November 2025.

Dalam paparan Policy Brief berjudul Optimalisasi Pengelolaan Dana Desa dalam Mengatasi Ketimpangan Ekonomi yang disampaikan Kelompok 3, terungkap bahwa peningkatan anggaran dana desa setiap tahun belum mampu menurunkan angka kemiskinan ataupun mendorong kemandirian ekonomi desa.

Pembicara Kelompok 3, Yafet Krismatius Buulolo, menjelaskan bahwa masalah utama bukan pada besaran anggaran, melainkan pada tata kelola dan orientasi penggunaan dana di tingkat desa. 

Menurutnya, sebagian besar anggaran masih terserap untuk kegiatan jangka pendek sehingga tidak menimbulkan nilai tambah ekonomi yang berkelanjutan.

“Dana desa ini besar, tetapi dampaknya belum terasa kuat di masyarakat. Masalahnya bukan pada jumlah, melainkan pada bagaimana dana itu dikelola. Jika tata kelolanya tidak berubah, desa akan tetap miskin meskipun anggarannya meningkat setiap tahun,” ujar Yafet.

Ia menguraikan sejumlah persoalan yang ditemukan kelompoknya, antara lain belanja desa yang belum fokus pada kegiatan produktif, lemahnya transparansi, proses penyaluran dana yang berlapis, serta rendahnya kapasitas aparatur desa dalam mengelola anggaran dan mengembangkan peluang ekonomi. 

Selain itu, ketergantungan pada proses manual dan kurangnya integrasi data membuat pengawasan serta akuntabilitas tidak berjalan optimal.

Kondisi ini berdampak pada stagnasi pertumbuhan ekonomi desa dan meningkatnya ketimpangan antarwilayah, sementara target nasional penurunan kemiskinan sulit tercapai. 

Desa juga menjadi rentan karena tidak memiliki cadangan ekonomi yang memadai ketika transfer dana dari pusat mengalami gangguan.

Untuk menjawab permasalahan tersebut, Kelompok 3 merekomendasikan reformasi berbasis empat pilar:

  1. Pembenahan regulasi anggaran desa,
  2. Digitalisasi tata kelola,
  3. Penguatan kapasitas aparatur desa, dan
  4. Insentif berbasis kinerja.

“Kami berharap rekomendasi ini dapat menjadi masukan dalam penyempurnaan kebijakan dana desa sehingga benar-benar mampu mengurangi ketimpangan, menurunkan kemiskinan, dan mendorong kemandirian desa,” tutur Yafet.

Paparan ini mendapat tanggapan dari Direktur Fasilitasi Pemanfaatan Dana Desa Kemendes PDTT, Friendy P. Sihotang, yang menilai pemetaan masalah Kelompok 3 sudah tepat dan menggambarkan kondisi lapangan secara nyata.

“Peta masalahnya sudah jelas. Yang dibutuhkan sekarang adalah langkah konkret yang bisa langsung dijalankan. Desa tidak boleh bergantung selamanya pada transfer dana pusat. Mereka harus tumbuh dari potensi sendiri, dan itu hanya tercapai bila tata kelolanya dibenahi,” katanya.

Friendy menekankan pentingnya penguatan BUMDes, peningkatan kapasitas manajerial, serta digitalisasi layanan publik desa sebagai strategi pembangunan ekonomi jangka panjang.

Penanggap berikutnya, Edi Fadhil dari Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong Aceh, menyoroti minimnya keberpihakan anggaran desa terhadap sektor pemberdayaan ekonomi. Ia menilai belanja desa masih terlalu fokus pada pembangunan fisik, sehingga ruang bagi pengembangan ekonomi kreatif, unit usaha desa, dan peningkatan kapasitas masyarakat menjadi terbatas.

“Selama ini dana desa terlalu banyak habis untuk pembangunan fisik. Sementara program pemberdayaan yang memberi dampak ekonomi jangka panjang sangat kecil porsinya. Jika desa ingin maju, porsi anggarannya harus berpihak pada sektor ekonomi,” ujarnya.

Ia mencontohkan sejumlah program besar yang semestinya bisa dikelola desa atau BUMDes—seperti program Makan Bergizi Gratis (MBG), koperasi merah putih, hingga jaringan pertashop—namun pada praktiknya banyak yang dikelola pihak lain.

“Ada banyak potensi besar, tetapi tidak dikelola desa. Padahal ini peluang besar untuk kemandirian ekonomi,” kata Edi Fadhil.

Ia menegaskan perlunya pendampingan lintas lembaga agar desa tidak hanya mampu mengelola dana, tetapi juga memetakan potensi, mengembangkan usaha, dan terhubung dengan rantai ekonomi yang lebih luas.

Kelompok 3 yang menyusun kajian ini terdiri dari peserta PKN dari berbagai instansi pusat dan daerah, yaitu Galih Priya Kartika Perdhana, Restu Andi Surya, Medi Oktafiansyah, Yafet Krismatius Buulolo, Muhammad Reza Pahlevi Nasution, Akkar Arafat, Husnan, Husensah, Rahwadi, Bayu Irsahara, Jepri Ginting, Najarudin Safaat, Pujiono Slamet, Novly Tenlie Nelson Momongan, Wahyu Indarto, Akhmad Zaenal Fikri, I Wayan Putu Sutresna, Kurniawan Wowondos, dan Sujatmiko.

Kelompok ini dibimbing oleh Dra. Arfah Salwah, M.Si, yang juga menjadi pembimbing Pelatihan Kepemimpinan Nasional. Arfah menyebutkan terdapat 62 peserta dalam PKN Tingkat II Angkatan XXIV tahun 2025, yang diharapkan menjadi pemimpin perubahan di instansi masing-masing.

“Dari hasil kajian tiga kelompok tersebut, lahir rekomendasi yang diharapkan bisa ditindaklanjuti pemangku kebijakan baik di tingkat provinsi hingga nasional. Ini tentu menjadi masukan yang sangat penting untuk pengambilan kebijakan,” ujarnya. []

Share:
Komentar

Berita Terkini